BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Akar Konseling : Tinjauan Cultural Dan
Historis
1.
Trade In Lunacy
Walaupun konseling dan psikoterapi baru tersedia secara luas pada
paruh kedua abad dua puluh, akan tetapi akarnya dapat dilacak ke awal abad
delapan belas, mempersentasekan titik balik cara masyarakat merespons kebutuhan
orang-orang yang memiliki masalah dalam hidup mereka. Pada masa sebelum ini,
masalah dalam hidup ditangani dari perspektif agama yang diimplementasikan pada
tingkat komunitas local (McNeill, 1951neugebaur, 1978,1979). Di eropa,
mayoritas hidup dalam komunitas pedesaan kecil dan dipekerjakan ditanah tuan
tanah. Dalam cara hidup seperti ini, kegilaan atau yang sangat terganggu
ditoleransi sebagai bagian dari komunitas. Masalah interpersonal akuan dosa,
misalnya McNeill (1951) merujuk tradisi penyembuhan religious ini sebagai “obat
bagi jiwa”. Dan, aspek terpenting dari obat jiwa tersebut adalah pengakuan dosa
yang diikuti penyesalan. McNeill (1951) menekankan bahwa pada awalnya pengakuan
dosa dilakukan dihadapan publuk, dan sering diikuti dengan peringatan yang
bersifat komunal, doa, dan bahkan pengucilan. Rirual Kristen awal untuk
menolong jiwa, sebagaimana festival mimpi Indian irogous, merupakan urusan
komunal. Baru beberapa periode setelah itu terbebtuk pengakuan dosa yang
bersifat pribadi. McNeill (1951) memberikan banyak contoh pendeta yang
menjalankan peran sebagai konseling terhadap para pengembala mereka pada abad
16 dan 17.
Para penulis, seperti Foucoult (1967), Rothman (1971), scull (1979,
1981b, 1989), dan porter (1985), menyatakan bahwa semua ini mulai berubah
seiring dengan merebaknya revolusi industry, kapitalisme mulai mendominasi
ekonomi dan kehidupan politi, dan nilai-nilai sains mulai meninggalkan
nilai-nilai agama. Perubahan dasar dalam struktur sosial dan kehidupan sosial
serta ekonomi yang terjadi saat ini diikuti oleh perubahan mendasar dalam
hubungan antar manusia dan cara orang mendefinisikan serta menghadapi tuntutan emosional
dan psikologis. Albee (1977: 154) menulis:
“ kapitalisme mensyaratkan pengembangan rasionalitas tingkat tinggi
yang diiringi dengan represi serta control terhadap pencarian kesenangan. Ini
artinya control ketat terhadap impuls-implus dan pengembangan etika kerja yang
menjadikan pencapaian kepuasan tingkat tinggi sebagaian besar orang berasal
dari kerja keras. Kapitalisme juga menuntut usaha personal untuk mencapai
tujuan jangka panjang, sebuah peningkatan otonomi independensi personal. System
tersebut sangat tergantungpada penghematan ketat, kreativitas, dan yang
terpenting dari semua semua itu, control yang ketat serta penekanan hasrat
seksual.
Sebagaiman yang dinyatakan oleh albee (1977), perubahan psikologi
kunci yang terjadi adalah pergeseran dari masyarakat “berpusat-tradisi”
(tradition-centered) (reisman at al, 1950) kepada masyarakat yang menekankan
pada “arahan kedalam”. Dalam budaya traditional, orang hidup dalam sebuah
komunitas yang relative kecil, yang memungkinkan anggotanya untuk saling
mengenal, dan tingkah laku dimonitor dan dikontrol oleh orang lain. Dalam
komunitas tersebut terdapat pengawasan
langsung terhadap apa yang seseorang lakukan, sekaligus tindakan langsung
terhadap penyelewengan sosial melalui hukuman atau pengucilan. Dasar dari
sosila control dalam komunitas tersebut adalah persaan malu. Sebaliknya dalam
masyarakat urban,industrialis, hidup menjadi sangat impersonal dan karena itu
control sosial harus diimplemntasikan ,melalui
internalisasi norma dan regulasi (kesalahan) yang menjadikan
ketidakpatuhan terhadap regulasi tersebut sebagai sebuah kesalahan. Dari
analisis ini, dimungkinkan utuk melihat elemen sntral budaya masyarakat urban,
industrialisasi dan kapitalis menciptakan kondisi pengembangan metode untuk
menolong, membimbing, dan mendukung kebingungan dan dilemma yang dialami oleh
kehidupan personal dan individualis seseorang. Walaupun demikian bentuk
pertolongan dibentuk oleh even dan proses lainnya,
Perhitungan yang disusun
oleh scull (1979) mengidikasikan bahwa antara 1800-90, proporsi populasi
penduduk yang hidup di inggris dan wales mencapai 20.00 orang, meningkat dari
17% hingga 54%. Orang-orang meninggalkan
tanah garapan mereka, pindah kekota dan bekerja dipabrik-pabrik baru. Bahkan
ditanah garapan, pekerjaan dilakukan lebih mekanik dan beriorentasi profit.
Perubahan ekonomi dan sosial dalam skala besar ini berdampak sangat dalam
terhadap anggota masyarakat yang kurang beruntungatau cacat. Sebelum ini
kehidupan yang ada adalah kehidupan pedesaan yang tenang, kemungkinan
bekerjanya anggota keluarga dirumah, dan adanya tugas yang mungkin dilaksanakan
oleh orang yang kurang cerdas sekalipun. Sekarang yang ada adalah disiplin mesin
dan jam-jam panjang dipabrik, serta fragmentasi komunitas dan keluarga yang
sebelunya adalah intstitusi yang memperhatikan mereka yang tua,sakit,miskin,
dan gila. Tuntutan tersebut dengan cepat menumbuhkan system jaminan Negara bagi
komunitas yang kurang sukses ini, yang kemudian dikenal dengan istilah rumah
penampungan (workhouse). Para penghuni tumah penampungan diharuskan bekerja,
dengan disiplin yang ketat. Akan tetapi, beberapa saat kemudian disadari bahwa
kegilaan yang timbul semakin sulitdikontrol dan merupakan penghancuran terhadap
rezim rumah penampungan. Sebagiamana yang dilaporkan oleh salahsatu rumah
penampungan pada 1750.
“ undang-undang telah
mengatur bahwa tidak adanya tunjangan khusus
bagi mereka yang gila dan harus dakui bahwa rumah penampungan biasa
tidak sesuai bagi individual yang tak bisa diatur dan pembuat onar ini, yang
membutuhkan sebuah apartemen terpisah. (diterangkan dalam scull, 1979:41)
Secara gradual, asylum,
apartemen terpisah tersebut mulai dibangun. Mulai dengan lambat pada awal abad
18 untuk kemudian mendapatkan penguatan dengan asylum act 1845, yang mewajibkan
penguasa local untuk membuat asylum public. Pembangunan ini menandai
keterlibatan sistematis Negara untuk untuk yang pertama kali dalam masalah
penangan orang gila dalam masyarakat eropa. Awalnya, asylum dilihat sebagai
tempat penampungan orang-orang gila saja, jarang sekali ada campur tangan
terapi. Dibeberapa asylum yang dijalankan oleh quakers, misalnya asylum tuke at
York, telah berkembang apa yang dikenal sebagai “perawatan moral” (scull,
1981a). sayangnya disebagaian besar intitusi para orang gila diperlakukan bak
hewan dan tetap berada dalam kondisi yang menyedihkan. Rumah sakit jiwa bethlem
di London misalnya, dibuka untuk public yang dapat melihat para orang gila
tersebut dengan membayar satu penny. Pada awal perkembangan pembangunan asylum
ini, sekitar abad ke 19, tenaga kesehatan kurang menaruh perhatian terhadap
orang gila. Dari investigasi historis yang dilakukan oleh scull (1975) dapat
dilihat bahwa profesi medis perlahan-lahan menyadari bahwa ada keuntungan yang
dapat dikeruk orang gila tersebut. Keuntungan tersebut bukan saja dari
menjalankan asylum yang dibiayai oleh Negara, tetapi juga dari menjalankan
asylum untuk orang gila yang berasal dari kelas atas. Kekuatan politik profesi
medis di inggris memungkinkan mereka untuk memengaruhi acts of parliament yang
memberikan control asylum secara penuh terhadap mereka. Kejayaan perawatan
moral (moral treanmen) dapat dilihat sebagai momen kunci dalam psikoterapidiman
ilmu pengetahuan (sains) menggantikan agama sebagai ideology dominan dalam menangani
orang gila.
Pada
akhir abad ke 19 tenaga kesehatan mengonsolidasikan konrol mereka terhadap
“trade in lunacy”. Sebagian dari proses konsolidasi tersebut mencakup penulisan
kembali sejarah kegilaan. Bentuk religi penangan orang gila yang disebut sebagai
demonology (study tentang
iblis) dan pembantaian terhadap mereka yang dianggap penyihir secara keliru
sebagai aliran utama pendekatan prasains atau pramedis terhadap kegilaan
(Szasz, 1971; Kirsh, 1978; Spanos, 1978). Baru kemudian phrenology (study tentang ukuran dan bentuk
tengkorang kepala yang diduga sebagai indikasi karakter dan kemampuan mental)
(Cooter, 1981) atau pemuasan seksual atau msturbasi (Hare, 1962) misalnya
muncul sebagai penjelasan medis dan biologis terhadap kegilaan. Diantara
perawatan fisik yang diuji coba sebagai perawatan penanganan terhadap kegilaan
adalah:
“ injeksi morphia pada bagian hypodermis,
penggunaan bromides, chloral, hydrate, hipocymine, physotigma, cannabis
indicta, amyl nitrate, cinium, digitalis, ergot, pilocarpine, pengguanaan
listrik, bak turki dan baju basah, serta pengobatan lain yang terlalu banyak
untuk disebutkan, adalah yang paling banyak dianjurkan (tuke, 1882, history of
the insane, yang dikutip dalam scull, 1979)
Tema
terpenting dalam periode ini adalah pengguanann asylum sebagai tempat melecehkan
wanita yang merupakan mayoritas penghuninya (Showalter, 1985). Diakhir abad
tersebut, spesialis psikiatri telah mendapatkan tempat berdampingan dengan
spesialisasipengobatan lainnya, didukung oleh system klasifikasi kekacauan
psikiatri yang disusun oleh kraepelin, bleuler, dan lai-lain. Banyak
pengembangan yang terlihat controversial waktu itu. Misalnya, terjadi
perdebatan seru dengan persepsi pengurungan orang gila dalam sebuah institusi
karena kontak dengan sesama penderita gangguan jiwa cenderung membantu
pemulihan mereka. Beberapa kritik pada saat itu menyatakan bahwa perawatan
dalam komunitas lebih baik pada penginstitusian orang gila tersebut. Terdapat
pula pada waktu itu kecaman keras dari public terhadap kekasaran dalam penganan
para pasien, dan skeptisisme terhadap efektivitas pendekatan medis.
Isu
perdebatan seputar perawatan orang gila diabad Sembilan belas terlihat sangat
akrab bagi kita dari sudut pandang terhadap hal tersebut satu abad kemudian.
Kita masih memperdebatkan hal yang sama. Namun tinjauan yang berkenaan dengan
yang bagaimna muasal isu ini muncul menggiring kita untuk focus terhadap
sejumlah kesimpulan berkenaan dengan karakter alami perawatan yang ditawarkan
kepada individu dengan gangguan emosional dalam masyarakat industry modern.
Ketika kita melihat kelahiran psikiatrik dan membandingkannya dengan apa yang
terjadi pada awal abad Sembilan belas, maka kita akan melihat:
a) Masalah emosional dan tingkah laku dalam
hidup digolongkan dalam masalah-masalah medis.
b) Terdapat “trade in lunacy”, sebuah
keterlibatan kekuatan pasar dalam pengembangan pelayanan tersebut.
c) Terdapat peningkatan jumlah penolakan
terhadap kebrutalan dalam cara menangani orang gila, dan juga lebih banyak
control sosial dalam penganan tersebut
d) Pelayanan yang ada pada waktu itu dikontrol
oleh pria dan digunakan untuk melecehkan wanita
e) Sains menggantikan agama sebagai kerangka
kerja untuk memahami kegilaan.
Tidak satupun dari faktor yang disebutkan
diatas terbukti hingga terjadi revolusi industry, dan semua itu masih ada
hingga saat ini. Semua itu dapat dilihatsebagai fondasi respons masyarakat
industry, urban dan sekuler terhadap pertanyaan yang berkenan dengan kegilaan.
Filsuf sosial foucoult (1967) menyatakan bahwa salah satu nilai inti tatanan
sosial baru yang muncul diabad Sembilan belas adalah akal sehat dan
rasionalitas. Dalam sebuah masyarakat yang mementingkan rasionalitas dan
perspektif sains dalam hidup, tidak diragukan lagi orang gila yang sudah
kehilangan akal sehatnya akan menjadi kambing hitam sumber ancaman yang harus
diasingkan dalam sebuah asylum di suatu tempat diluar kota. Era ini yang
dideskripsikan foucoult (1967) sebagai era “pengekangan” (confinement), dimana
masyarakatnya mengembangkan penekanan pengerangkengan semua hal yang tidak
rasional dan pengekangan seksualitas.
2.
Penemuan psikoterapi
Pada akhir abda Sembilan belas, psikiatri
telah menempati posisi dominan dalam penangan kegilaan pada saat itu deikenal
dengan “sakit mental”. Kini dari dalam dunia pengobatan dan psikiatri, muncul
psikoterapi sebagai spesialisasi baru.diantara para psikolog awal yang menyebut
mereka sebagai psikoterapis adalah Van Ellenberger Renterghemdan Van Eeden yang
membuka klinik psikoterapi sugestif di Amsterdam pada tahun 1887 (Ellenberger,
1970). Van eeden memdefinisikan psikoterapi sebagai,” penyembuhan tubuh oleh
pikiran, yang dibantu oleh implus dari satu pikiran kepikiran yang lain”
(Ellenberger, 1970:765). Hypnosis adalah sebuah fenomena yang sangat menarik
bagi para praktisi medis eropa di abad ke-19. Ditemukan oleh perintis teori
“magnetism binatang”, Johann Joseph Gassner (1727-79) dan Frans Mesmer
(1734-1815), hipnotisme digunakan secara luas sebagai obat bius untuk perasi
sebelum ditemukannya obat bisu secara kimia. Pada 1880-an, Charcot dan Janet
dua orang psikiatris perancis ternama mulai mencoba hipnosisi sebagai metode
menangani pasien yang histeris. Ada dua aspek dalam teknik hypnosis mereka yang
kemudian berlanjut hingga saat ini sebagai konsep kunci dalam konseling dan
psikoterapi komtenporer.
1)
Mereka
menekankan pentingnya hubungan antara dokter dan pasien. Mereka mengetahui
bahwa hypnosis tidak akan menjadi efektif tanpa keberadaan kondisi yang mereka
sebut “kedekatan”
2)
Mereka
menyatakan bahwa alasan dibalik kebermanfaatan hypnosis bagi pasien adalah
karena teknik tersebut memberikan akses kepada daerah pikiran yang tidak
terakses ketika sedang sadar.
Dengan kata lain, porsi konsepsi pikiran
bawah sadar yang merupakan bagian mekanisme hipnotisme abad ke-19 sama
banyaknya ketika konsepsi tersebut menjadi bagian dari psikoterapi abda ke -20
dan 21.
Peran yang dimainkan oleh hipnosisi dalam
kemunculan psikoterapi amat signifikan. Borguignon (1979), prince (1980), dan
yang lainnya telah mengamati ritual penyembuhan suku primitive yang tergantung
pada keadaan trance (setengah sadar) atau kondisi kesadaran yang berubah
(altered states of conciousness). Kemunculan mermerisme dan hypnosis pada abad
ke- 18 dan 19 di eropa, dan transformasi
mereka terhadap psikoterapi, dapat dilihat sebagai asimilasi bentuk kultur
tradisonal dalam ilmu kedokteran modern. Berkenaan dengan tingginya popularitas
mermerisme di amerika pada abad ke- 18, Cushman (1995:199) menulis, “ hingga
tingkat tertentu, mermerisme merupakan psikoterapi sekuler pertama di amerika,
sebuah cara untuk memberika pelayanan psikologi kepada penduduk amerika yang
tidak berada dibawah gereja.
Figure
kunci dalam transformasi dari hypnosis kepada psikoterapi adalah Sigmund Freud.
Setelah menghabiskan empat bulan bersama Charcot di Paris, sighmund kembali ke
Vienna untuk mendirikan praktik psikiatri pribadi. Dia kemudian meninggalkan
teknik hypnosis, dan memilih untuk mengembangkan teknik psikoanalisisnya
sendiri, yang didasarkan kepada asosiasi bebas (free association) dan
interpretasi mimpi (dream interpretation). Pada akhirnya, freud menjadi salah
satu figure paling berpengaruh, tidak hanya pada arena medis dan psikoterapi,
tapi juga sejarah kebudayaan eropa. Tanpa bermaksud menolak kreativitas dan
kejeniusan freud adalah penting untuk mengkritisi beberapa pendekatan yang
diindikasikan tren intelektual dan praktik sosial pada waktunya. Diantaranya:
1) Sesi individual dengan para analis merupakan
perluasan dari praktik normal konsultasi empat mata dokter-pasienyang umum terjadi
pada waktu itu.
2) Ide freud berkenaan dengan kekuatan
kehidupan tunggal (unitary life-force) alias libido bersumber dari teori
biologis abad ke 18
3) Ide yang menyatakan bahwa problem emosi
memiliki kausa seksual sangat diterima pada abad 19
4) Ide tentang bawah sadar telah digunakan
bukan hanya oleh hypnosis tapi juga oleh beberapa penulis filsuf abad ke-19.
Kontribusi unik freud adalah kemampuannya
mengasimilasikan semua ide tersebut kedalam sebuah model teori koheren yang
sangat terbukti bernilai banyak bidang. Signifikansi cultural dibalik ide freud
dapat dilihat dari asumsi implicit bahwa kita semua neurotic, bahwa dibalik
setiap topeng dari seseorang yang paling sukses sekalipun terdapat konflik
batin terhadap dirinya (inner conflic) dan dorongan instingtual (instingtual
drive). Pesan yang ingin disampaikan oleh freud adalah psikiatri bukan hanya
berguna nagi orang gila di asylum, tetapi juga bagi semua orang. Serangkaian
ide yang terdapat dalam psikoanalisis juga merefleksikan tantangan yang
dihadapi oleh kelas menengah Eropa untuk membuat transisi dari bentuk
tradisional kepada bentuk yang lebih modern. Solod (1982: 51-52) menulis bahwa
masyarakat viktorian;
“ cukup pantas untuk memandang orang yang
lrbih tua sebagai figure ayah dan diri sendiri sebagai anak dalam hubungan
dengan mereka. Dalam dunia modern yang sekuler, ekonomi yang tidak
berperikemanusiaan dan kontrak kerja cenderung mengikatkan kita kepada
otoritas. Oleh karena itu, hubungan transferensial kepada otoritas menjadi
tidak sesuan dan maladaktif ketimbang fungsional.
Entah
bagaimana, dampak ide freud ian di Eropa dan Inggris selama hidupnya sangat
terbatas, dimana psikoanalisis hanya bisa diterima diakses oleh intelektual
kelas menengah dan artis. Di Inggris misalnya, perkembangan psikoanalisis
diasosiasikan kepada grup intelektual elite “Bloombury” (kohon, 1986). Dan
keadaan tersebut berlangsung hingga psikoanalisis berimigrasi ke amerika
sehingga psikoanalisis kemudian menjadi konseling menjadi banyak tersedia.
3.
Pertumbuhan Psikoterapi di Amerika Serikat
Freud tidak menyukai masyarakat
Amerika Serikat. Bersama Jung dan Ferenczi, dia pernah mengunjungi Amerika
Serikat pada tahun 1909 untuk menyampaikan serangkaian kuliah dan menerima
gelar kehormatan dari universitas Clark. Namun dikemudian hari ia
menulis bahwa kepergiannya ke Amerika adalah sebuah “kesalahan besar” (Gay,
1988). Walaupun demikian, kultur Amerika
menggemakan ide psikoanalisis, sehingga ketika fasisme di Eropa memaksa para
analis seperti Ferenczi dan Erikson pindah ke New York, mereka menemukan klien
yang sangat bersemangat. Dibandingkan Eropa,
masyarakat Amerika mendemostrasikan tingkat mobilitas yang lebih tinggi, dengan
orang-orang yang sangat senang untuk bekerja, hidup, dan menikah diluar
lingkungan, kota, kelas sosial, atau group etnis mereka. Karena itu,
disana banyak terdapat individuyang memiliki masalah dalam menciptakan hubungan
yang memuaskan atau rasa aman akan identitas diri (secure sense of personal
indentity). Lagi pula “mimpi Amerika” mengatakan bahwa setiap orang lebih baik,
dan menekankan pengejaran terhadap kebahagiaan individual merupakan tujuan
hidup yang legitimate. Psikoterapi menawarkan metode
peningkatan diri yang paling mendasar sekaligus radikal. Para psikoanalisis
yang datang ke Amerika pada 1930-an menemukan ketertarikan yang sangat kuat
terhadap psikologi, sebagaimana diindikasikan dalam buku self-help karya Samuel
Smiles dan tulisan behaviorist J.B.Watson. di amerika juga terdapat tradisi
psikologi terapan yang sangat kuat, yang memberikan dorongan terhadap
keterlibatan para psikolog akademis dalam angkatan perang Amerika di perang
Dunia Pertama. Tes psikologis digunakan secara luas dalam pendidikan,
seleksi kerja, dan bimbingan karir. Dan, semua itu menunjukkan bahwa konsepsi
penggunaan psikologi untuk membantu orang biasa benar-benar taken for granted.
Ide psikoanalisis sangat menarik bagi orang Amerika, namun
untuk mengasimilasikan dengan ide tersebut kedalam kultur Amerika diperlukan
Amerikanisasi” pemikiran Freud. Freud hidup dalam masyarakat yang terorganisasi secara
hierarkis, dominasi kelas, dan sudah menulis dari filsafat hidup yang sudah
tenggelam dalam pengetahuan klasik dan ilmu biologi, dipengaruhi oleh pesimisme
yang tumbuh dari status yahudi dirinya di saat kekerasan antisemik merebak.
Karena itu, ada beberapa tema dalam tulisannya yang tidak sesuai dengan apa
yang dialami orang Amerika. Hasilnya, pada 1950-an muncul penulis yang
mnginterpretasikan pemikiran freud berdasarkan nilai cultural mereka. Di antara
mereka yang paling penting adalah Carl Rogers, Eric Berne, Abert Ellis, Aaron
Beck, Abraham Maslow. Para psikoanalisis Eropa, seperti Erikson dan Fromm yang
hijrah ke Amerika, juga mamiliki peran penting dalam membingkai kembali
psikoanalisis dari perspektif cultural dan sosial yang lebih luas, sehimgga
membuatnya semakin dapat diterima oleh pasien amerika Serikat.
Salah satu sumber utama resistensi
kultur Amerika terhadap psikoanalisis adalah psikologi akademik. Walaupun
William James (1890) salah seorang pakar yang menjadikan psikologi dihormati
secara akademik di universitas-universitas Amerika telah memberikan perhatian
yang besar terhadap ide-ide Freud, tetapi sejak 1918 para pakar psokolog
akdemis Amerika telah terlalu dalam terikat dengan pendekatan behaviors. Perspektif behaviors menekankan penggunaan
metode sains, seperti pengukuran dan percobaan laboratorium, dan menekankan
studinya terhadap perilakuyang dapat di observasi ketimbang mengungkap proses
internal, seperti mimpi, fantasi, dan impuls. Sebagai konsekuensinya, aliran
behavior yang mapan berlawanan dengan psikoanalisis dan menolak untuk
mengakuinya sebagai sebuah studi yang serius. Walaupun beberapa fakultas
psikiatri dan penulisnya “dipaksa” bekerja dalam praktik pribadi atau rumah
sakitketimbang memiliki dasar akademis. Bahkan ketika Rogers, Berne, dan Ellis
mengembangkan terapi khas Amerika di 1950-an, diskusi ilmiah atas karya mereka
masih sangat terbatas. Salah satu kontribusi rogers adalah menemukan metode
sistematik untuk melanjutkan riset hingga proses dan hasil dari terapi. Efek
penemuan ini menguatkan legitimasi terapi sebagai proyek yang diterima secara
sosial dengan memberikan sebutan sebagai sains terapan kepadanya. Pada 1947,
Rogers menjadi presiden American Psychological Assosiation (Whitekely, 1984).
Konfirmasi terapi sebagai sains terapan diperkuat dengan masuknya terapi
kedalam pendekatan arena terapi kognitif-behavior di 1960-an, beserta bahasa
dan asumsi psikologi perilaku, dan citra praktisi sains (lihat bab 5).
Perkembangan psikoterapi di Amerika Serikat
mempersentasikan ekspansi yang luar biasa “trade in lunacy”. Lemahnyasistem
kesehatan public di Negara tersebut mengindikasikan bahwa konseling dan terapi
didominasi oleh teori dan pendekatan yang dikembangkan dalam praktik pribadi. Pengaruh
dan prestise model praktik pribadi telah sampai pada tahapan dimana jejaknya
diikuti oleh agensi konseling yang tumbuh di sector sukarela, atau setting
pendidikan. Dalam era kerja sosial, pendekatan casework sangat dipengaruhi oleh
praktik psikotarapi.
4.
Sekulerisasi Masyarakat
Pada titik ini, hubungan antara lembaga
keagamaan (organized religion) dan sejarah perkembangan psikoterapi konseling
menjadi tidak ada artinya. Halmos (1965) telah mendokumentasikan korelasi
antara penurunan jumlah pendeta dan peningkatan jumlah konselor pada abad 20 di
inggris. Beliau bahkan menyatakan bahwa keimanan religi telah digantikan oleh
serangkaian keyakinan dan nilai yang disebutnya sebagai “iman para konselor”
(faith of the counsellor). Nelson dan Torray (1973) telah mendeskripsikan
beberapa cara terapi mengalahkan agama dalam beberapa sisi kehidupan, seperti
menawarkan penjelasan terhadap berbagai peristiwa yang sulit dipahami,
menawarkan jawaban terhadap pertanyaan berkenaan dengan ekstensial “auntuk apa
aku ada?”, mendefinisikan nilai sosial dan menyuplai metode ritual untuk
bertemu dengan orang lain. Holified (1983) telah mendokumentasikan proses
ketika para psikoterapis pertama merupakan bagian dari gereja untuk kemudian
secara berangsur-angsur berubah menjadi profesi yang berbeda.
Akar konseling dan psikoterapi dalam ritual
“penyembuhan jiwa” telah didiskusikan pada awal bab. Hubungan paralelantara
terapi dengan, misalnya penggunaan pengakuan digereja katholik, menjadi
terbukti. Dan juga sangat jelas bahwa dalam masyarakat tradisional dan non-
industrial, penyembuhan emosional dan psikologi biasanya dilakukan dalam
bingkai religi. Tetapi, hingga kini hanya sedikit terapis yang menyatakan bahwa
agama dan spiritualitas memiliki relevansi terhadap konseling dan psikoterapi.
Hal tersebut menjadi semacam tekanan untuk menjadikan psikoterapi sebagai suatu
profesi yang terpisah dan independen. Artinya para terapis harus membuat
batasan antara apa yang mereka lakukan dan yang dilakukan oleh pendeta. Tentu
saja disamping beberapa titik temu, terdapat beberapa perbedaan penting dalam
hal tersebut. Untuk menempatkan dirinya sebagai produk dipasar abad dua puluh,
dan untuk membangun “indutri” kesehatan mental (kovel, 1981), terapi memisahkan
dirinya dengan agama.secara garis besar, dimensi religi dan spiritual dalam
hidup sangat sedikit untuk dibicarakan dalam aliran utama teori psikoterapi dan
konseling. Terapi telah tertanam dengan kuat dalam pandangan sains walaupun
Halmos (1965) telah menyatakan bahwa
teori terapi juga dapat dilihat dari sudut pandang “keimanan”.
Ketegangan antara sains dan agama dalam evolusi konseling tercermin dalam hidup
dan karya Carl Rogers.
5.
Peran Carl Rogers
Kisah kehidupan Carl Rogers (1902-1987)
penemu pendekatan konseling dan terapi berbasis klien atau berbasis individu
(bab 6) sarat dengan tema-tema tersebut diatas. Carl Rogers (rogers, 1961;
Kirshenbaum, 1979) tumbuh dalam komunitas pedesaan di Midgwest Amerika, sebagai
salah seorang anggota keluarga Kristen protestan yang keras yang sangat aktif menentang
aktvitas bersenang-senang, seperti judi atau menonton teater. Sebagai ganti
dari hasrat mendapatkan kesenangan, Rogers menunjukkan minat yang kuat pada
ilmu pertanian dan telah melakukan perco baan terhadap kacang atau tanaman
diusianya ke 14. Ia kemudian memutuskan menjadi pendeta, dan pada usianya yang
ke-20, ia telah dikirim ke Cina untuk menghadiri Word Student Crishtian
Federation. Kontak yang dilakukannya dengan budaya dan kepercayaan lain telah
memengaruhi dirinya untuk menjauhi orientasi religious orang tuanya yang riqid.
Ketika tiba saatnya dia memilih sekolah seminari, dia memilih sekolah yang
memiliki aliran paling liberal: Union Theological Seminari. Akan tetapi,
sebagai hasil eksplorasi keimanannya dalam kelompok mahasiswa pemberontak (the
equivalent of a student-led”encounter group”), Rogers memutuskan untuk mengubah
karirnya dan mulai mengikuti pelatihan untuk menjadi seorang psikolog di
Universitas Columbia, tempat dimana dia menemukan ide gerakan pendidikan
progresif yang menekankan keyakinan bahwa kebebasan belajar dan tumbuh adalah
sesuatu yang inheren dalam setiap anak atau siswa.
Kehidupan awal Rogers ini menujukkan bahwa
pengaruh agama berkumpul dalam karirnya sebagai terapis. Penghormatan terhadap
kecermatan sains tergambar dalam ketrlibatan beliau dalam riset, dimana beliau
adalah salah seorang yang pertama kali membuat catatan sesi terapi, dan
mengembangkan metode untuk menginvestigasi berbagai aspek dalam proses terapi.
Pengaruh pemikiran protestan dalam pendekatan teori berbasis klien tampak dalam
penekanan terhadap kapasitas individu untuk mencpai pemahaman terhadap nasinya
dengan menggunakan intuisi dan perasaan ketimbang dibantu oleh doktrin atau
rasio. Pendekatan berbasis klien juga lebih berfokus pada perilaku dimasa kini
ketimbang apa yang terjadi dimasa lalu. Sollod (1978: 96) menyatakan bahwa
protestanisme dalam pendekatan berbasis klien dapat dibandingkan dengan
psikoanalisis di mana “kebenaran berada dalam alasan terlatih para terapis
(rabbi) dan dalam interpretasi Talkmudiknya terhadap fenomena yang kompleks”.
Seiring dengan keberhasilannya menyaber
gelar psikolog klinis, sebagian besar klien Rogers adalah anak dan remaja yang
terganggu jiwanya plus keluarga mereka, pada departemen studi anak dalam
masyarakat anti kekerasan terhadap anak, di Rochester, New York. Walaupun ia
juga menerima pelatihan psikodinamik dari Jessie Taf, salah seorang murid Otto
Rank (Sollod, 1978) dan juga juga terpengaruh ole hide Alfred Adler (watts,
1998), dia tak pernah mengidentifikasikan dirinya sebagai murid dari pendekatan
manapun. Selama tinggal di Rochhester (1928-1940) ia sangat terlibat dengan
pendekatan yang dikembangkannya sendiri, dipandu oleh pandangannya apa yang
tampaknya dapat menolong kliennya. Dalam karya klinis dan pengalamannya di
Columbia, Rogers telah memunculkan nilai kultur Amerika, dan teorinya
mengandung banyak element konteks kultur terapis. Meadow (1964) misalnya,
menyatakan bahwa client-centered therapy (terapi berfokus klien) telah
mebgadopsi “norma dasar amerika” seperti ketidakpercayaan terhadap figure pakar
dan otoritas, lebih menekankan metode ketimbang teori, lebih menekankan
tuntutan individual ketimbang berbagai tujuan sosial, kurang memerhatikan masa
lalu, dan nilai independensi dan otonomi. Barret-Lennard (1998) bahkan telah
menarik perhatian dengan pernyataannya akan kemiripan antara pendekatan Rogers
dengan filosofi pergerakan politik “New Deal” pada tahun 1930-an di Amerika
Serikat.
6.
Terapi Sebagai Respons Terhadap Diri Sendiri
yang Hampa (empity self)
Salah seorang penulis yang berpengaruh dalam
dunia psikoterapi adalah Philip Cushman (1990, 1992, 1995). Pendekatan yang
dilakukannya adalah menguji faktor-faktor cultural pada abad Sembilan belas dan
dua puluh khususnya Amerika Serikat yang bermuara pada kemunculan dan
penyebaran terapi. Tesisnya menyatakan bahwa pada pabad ke-19, Amerika Serikat
adalah sebuah bangsa baru yang merupakan subjek dari perubahan dan transformasi
sosial yang massif, dan psikoterapi awal seperti mesmerisme atau pergerakan
revivalis mencoba untuk menemukan pengakuan dan stabilitas di tengah periode
ketidakstabilan sosial. Di sisi lain, system kapitalis yang jauh lebih dominan
di Amerika Serikat ketimbang didaratan eropa menuntut individu untuk membentuk
diri mereka sesuai dengan kesempatan tertentu dalam system ekonomi. Orang-orang
harus menjual diri mereka, bukan hanya barang dan jasa. Buku-buku dan pamflet
pengembangan diri menjadi begitu popular, tetapi psikoterapi menawarkan jalan
yang lebih efektif untuk mendapatkan personalitas yangtepat.
Tingkat mobilitas sosial Amerika membuat
struktur sosial seperti keluarga dan komunitas menjadi terkikis, dan rasa
memiliki yang diasosiasikan dengan struktur ini menjadi hilang. Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Cushman (1990: 600) kehampaan diri yang dialami oleh
banyak orang amerika adalah
“lingkungan kita telah membentuk self yang
mengalami kehilangan komunitas, tradisi, dan nilai bersama yang signifikan.
Self tersebut merasakan kehilangan sosial tersebut.. sebagai defiesiensi
kepercayaan dan harga diri, mempersonifiksikan ketidakhadiran tersebut sebagai
kehausan emosional yang kronis dan tak terisahkan. Karena itu, self yang ada
setelah perang dunia II memiliki keinginan yang sangat kuat untuk mendapatkan
kompensasi yang telah hilang. Ini adalah kehampaan. (Cushman,1990; 600)”.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Cushman,
dua respons cultural utama terhadap diri yang hampa adalah psikoterapi dan
konsumerisme. Dan untuk memenuhi “kehausan emosional yang tak terpisahkan”, para
warga dengan kemampuan ekonomi lebih memiliki pilihan untuk membuat janji
dengan para terapis, atau mungkin membeli mobil baru.
7.
Ekspansi Konseling di Akhir Abad Dua Puluh
Hingga saat ini, diskusi yang ada berfokus
pada perkembangan psikoterapi sebagai sebuah profesi pada abad ke- 19 dan awal
abad ke-20. Konseling sebagai, sebuah profesi independen, mencapai
kematangannya pada 1950-an, dank arena itu sejarah psikoterapi menjadi penting
untuk menjembatani konseling dengan bentuk pengobatan dan perawatan yang lebih
dulu ada. Walaupun konseling dapat dikatakan sebagai bagian dari psikoterapi
sebagai sebuah cara baru memasarkan psikoterapi kepada kelompok konsumen baru
setidaknya terdapat dua faktor yang membedakan konseling dari
psikoterapi:keterlibatannya dalam system pendidikan dan perannya dalam sector
sukarelawan.
Konseling dalam berbagai bentuknya mulai
ditawarkan dalam system sekolah atau universitas pada 1920-an dan 1930-an, sebagai
bimbingan karir dan pelayanan kepada para remaja yang mengalami kesulitan dalam
memenuhi tuntutan sekolah atau kampus. Tes dan penilaian psikologis juga
termasuk dalam aktivitas ini, bahkan dalam aktivitas tersebut selalu ada dalam
elemen diskusi atau interpretasi terhadap permasalahan siswa atau hasil tes
(Whiteley, 1984).
Konseling juga memiliki akar yang sangat
kuat dalam sector sukarelawan. National Marriage Guidance Counselling, sebuah
agensi konseling terbesar di Inggris, misalnya didirikan pada tahun 1940 orang
sekelompok orang yang prihatin dengan ancaman terhadap perkawinan yang disebabkan
oleh perang (Lewis, et sl, 1992). Mirip dengan kasus diatas, banyak grup
sukarelawan yang menyediakan pelayanan konseling dalam area seperti perkosaan,
duka, isu gay dan lesbian, serta pelecehan anak.
Eksistensi tradisi pendidikan dan sector
relawan bersama psikoterapeutik dan difusi tradisi keagamaan bermakna bahwa
disana selalu ada dimensi konseling yang selalu mengamati permasalahan sosial
yang muncul. Lebih jauh, konseling kehidupan diluar institusi medis, tempat
dimana psikoterapi sangat diidentikkan dengan perawatan kesehatan penunjang
melalui psikiatri, dan dengan profesi yang berhubungan dengan pengobatan,
seperti psikologi klinis dan psikiatrik kerja sosial. Dan akhirnya, konseling
telah mengembangkan sector non professional, yang menyebabkannya turun
ketingkat komunitas local sebagai cara untuk mempertahankan kesukarelaan dan
dana. Oleh karena itu, walaupun konselor dan psikoterapis sama-sama memiliki
keterampilan yang mirip satu dengan yang lain, akan tetapi keduanya di
posisikan secara cultural dalam daerah yang berbeda. Sayangnya, sejarah
cultural konseling yang komperehensif masih terus di tulis.
Mengapa konseling dapat tumbuh demikian
pesat dalam dua puluh lima tahun terakhir ini? Di Inggris dan Amerika, jumlah konselor
dan kemampuan umum konseling menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak
1970-an. Ada beberapa faktor yang bertanggung jawab atas pertumbuhan ini:
Ø Dalam dunia postmodern, para individual
sadar akan pilihan yang di buka untuk mereka berkenaan dengan identitas; sang
diri memiliki “proyek”; dan konseling adalah sebuah cara untuk memilih
identitas tersebut (Giddens, 1991).
Ø Profesi pelayanan dan public, seperti
perawat, dokter, pengajar dan pekerja sosial yang sebelumnya telah melaksanakan
peran mirip konselor, menjadi terpisah secara keuangan dan manajerial pada 1970
dan 1980-an. Mereka yang menjadi anggota profesi ini tak lagi memiliki waktu
untuk mendengarkan klien mereka. Akan tetapi, banyak diantara mereka yang harus
mencari konselor yang terlatih, dan menciptakan peran konseling dalam
organisasi mereka sebagai cara untuk menjaga kualitas kontak dengan klien
mereka.
Ø Terdapat jiwa bisnis dalam diri banyak
konselor yang secara aktif menjual jasa mereka kepada grup konsumen baru.
Sebagai contoh adalah setiap direktur personalia sebuah perusahaan besar selalu
memiliki lemari dokumen yang penuh dengan brosur agen konseling dan konselor
yang berhasrat menyediakan jasa konseling bagi para karyawan.
Ø Secara regular, konseling mendapatkan
publisitas di media. Dan sebagian besar publisitas tersebut bersifat positif.
Ø Kita masih hidup dalam masyarakat yang
berantakan dan terpinggirkan, dan itu berarti ada banyakorang yang rusak system
penunjang sosial dan emosionalnya. Contoh di setiap kota besar akan banyak
dijumpai gelandangan. Dan hal tersebut meningkatkan jumlah tunawisma.
Walaupun demikian, masih terdapat banyak
faktor yang dapat dikaitkan dengan perkembangan konseling. Yang jelas tampaknya
adalah konseling lebih cenderung tumbuh sebagai respons terhadap tuntutan dan
tekanan sosial ketimbang riset atau bukti lain yang menyatakan efektivitas
konseling. Tetapi, apakah hal tersebut menjadikan konseling dapat dipandang
terbentuk secara sosial dangan cara ini ?apa makna sosial dari konseling?
8.
Makna Sosial Konseling
Tak dapat dihindari bahwa catatan sejarah
yang disebutkan tidak lengkap dan sepotong-sepotong. Riset dan perhatian para
pakar untuk memahami pergerakan konseling dan psikoterapi dalam masyarakat abad
dua puluh masih sangat kurang. Misalnya saja, banyak literature sejarah dengan
focus pergerakan psikoterapi dan konseling yang berfokus secara eksklusif
terhadap apa yang terjadi di Amerika. Padahal, tidak diragukan lagi ada banyak
faktor dan tema yang berbeda yang harus diungkap melalui studi sejarah terapi
di Negara-negara Eropa. Terlepas dari semua itu dari diskusi terbatas ini
berkenaan dengan faktor sejarah ini saja bisa dilihat bahwa bentuk teori dan
praktik kontemporer sangat dipengaruhi oleh kekuatan cultural (Woolfe, 1983;
pilgrim, 1990; salmon, 1991; Cushman, 1995). Secara khusus, semua yang
disebutkan di atas merupakan bukti bahwa figure kunci dalam sejarah konseling
seperti Freud dan Rogers bukanlah penemu teori baru, tetapi tak lebih daripada
orang-orang yang mampu mengartikulasikan dan memengaruhi cara berpikir dan bekerja
yang kemudian mulai mengkristal dalam budaya sekeliling mereka. Catatan sejarah
juga memunculkan sekaligus menyoroti isu dan fundamental yang berdampak pada
semua orientasi teoritis dan bentuk dari praktik konseling. Isu-isu mendasar
ini berbicara seputar, pertama, pemahaman kita terhadap makna sosial konseling
dan kedua, citra dari orang yang diperhatikan oleh teori konseling.
Dari diskusi yang berkenaan dengan akar
psikiatri terutama pada tahun-tahun awal kemunculannya. Jelas sekali bahwa
penekanan dalam perawatan psikiatrik pada waktu itu adalah control terhadap
individu yang dipandang mengacaukan jalannya masyarakat. Walaupun terjadi
banyak perubahan dalam psikiatris, namun hingga saat ini psikiatris memiliki
kekuatan untuk perumahsakitan. Sedangkan sisis lain, konselor aliran humanistic
memiliki tujuan “self actualization” (aktualisasi diri) dan berasumsi bahwa
klien mereka memiliki tanggung jawab terhadap hidup dan tindakan mereka. Ada
kecenderungan yang sangat kuat dalam diri konselor atau organisasi konseling
untuk secara eksplisit menempatkan diri mereka pada kebebasan dan liberalisasi
individu diakhir kontinum ini. Walaupun demikian, dalam praktiknya masih
terdapat tekanan berkenaan dengan arah keyakinan dan control sosial dalam
setiap situasi konseling. Yang lebih konkret lagi adalah nilai dan kepercayaan
konselor berkenaan dengan apa yang bisa atau yang tidak bisa diterima secara
sosial dalam diri seorang klien.
Yang lebih samar adalah pengaruh penyandang
dana layanan konseling, terutama dalam setting konseling di sekolah, organisasi
bisnis, atau lembaga swadaya masyarakat, tempat klien tidak akan dipungut
bayaran untuk layanan yang mereka perlukan. Akhirnya dalam kasus yang sangat
ekstrem, ketika klien mengancam akan menyakiti diri sendiridan orang lain,
terdapat tekanan sosial dan hukum yang memaksa konselor untuk mengambil alih
situasi dan bertindak.
Beberapa penulis menganggap pendekatan
mereka terhadap konseling dan psikoterapi adalah sebagai sarana untuk
menyajikan kritik terhadap eksistensi norma sosial atau sebagai cara untuk
memunculkan perubahan sosial. Kovel (1981) seorang psikoanalisis radikal,
misalnya, telah menyatakan bahwa teori Freudian klasik mempersentasekan alat
yang luar biasa untuk perubahan politik, dan merasa sedih dengan cara para
teoritikus generasi ke-2 post Freudian, khususnya di Amerika. Dia menyatakan:
“apa yang baik dalam Freud, yaitu kemampuan
kritisnya untuk melihat dibawah system yang telah mapan, jika tidak dapat
dikatakan melihat kebelakang, harus di buang; sedangkan apa yang sesuai dengan
hubungan kapitalis tingkat tinggi atau advanced capitalis relatins, yaitu
pelepasan sedikit hasrat yang dibarengi dengan kontrolteknis dan penyimpangan
harus diperkuat”
Argument yang menyatakan bahwa sisi radikal
teori Freud telah hilang juga dinyatakan oleh Holland (1977). Sedangkan idea
konseling atau terapi sebagai sarana perubahan sosial dimunculkan oleh Rogers
(1978). Dalam praktik kontemporer, aliansi antara konseling dan aksi sosial
terwujud secara efektif oleh konselor feminis dan gay serta para praktisi dari
grup monorotas (bab 7). Tetapi, uasaha meradikalisasi konseling ini juga
menghadapi konfrontasi yang berujung pada pencarian perubahan sosial melalui
media dengan mengindividualisasikan dan mempsikologiskan permasalahan sosial.
Ada aspek kritis lain karakteristik sosial
konseling yang berhubungan dengan pembagian kekuatan antara konselor dank lien.
Secara historis, hubungan konselor klien telah mengidentikkan diri dengan
hubungan dokter pasien atau pendeta jamaah. Secara tradisional dokter dan
pendeta dilihat sebagai figure pakar dan otoratif, dan semua orang yang
berkonsultasi dengan mereka berharap diberitahu apa yang harus mereka lakukan.
Sebaliknya, dalam dunia konseling, banyak praktisi yang mendukung konsep “menguatkan”
pasien dan hingga tingkat tertentu setuju dengan apa yang dikatakan oleh Carl
Rogers bahwa “lkienlah yang mengetahui apa yang benar”. Di samping itu, situasi
dalam sebagian wawancara konseling juga mereproduksi aspek kekuatan hubungan
dokter pasien. Pertemuan diadkan di daerah konselor yang secara otomatis
memiliki kekuatan untuk melanjutkan atau mengakhiri sesi. Konselor mengetahui
segala sesuatu berkenaan dengan klien, tapi (sebaliknya) hanya sedikit yang
diketahui klien dari seorang konselor. Beberapa orang konselor begitu yakin
akan kesia-siaan ketidak seimbangan kekuatan klien-konselor sehingga mereka
merekomendasikan jaringan konseling self-help (bab 17), dimana para pesertanya
secara bergiliran memberikan konsling kepada yang lain. Relevan pula untuk
dicatat bahwa mayoritas kontak konseling dilakukan melalui telepon agensi
konseling, sebuah situasi yang memberikan control lebih kepada klien untuk
membuka siapa dirinya dan berapa lama satu sesi konseling akan berlangsung.
Akhir-akhir ini banyak penulis yang menaruh
perhatian pada metode yang mengandung kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan
dalam hubungan konseling, eksploitasi seksual klien. Masson (1988, 1992), salah
satu penulis tersebut, telah berhasil menyusundokumen subtansial berkenaan dengan
pelecehan klien. Dia berpendapat bahwa pelecehan jenis ini bukan hanya mengandung kekhilafan sporadis
dalam etika sadar, tetapi juga merupakan konsekuensi kontak konseling yang
bersifat intrinsic dan tidak dapat dihindarkan. Masson (1988: 296) menulis, “
profesinya itu sendiri sudah korup impuls utama dari psikoterapi adalah
mendapatkan keuntungan dari kesengsaraan orang lain”. Dia juga menyatakan bahwa
penghapusan psikoterapi adalah sesuatu yang diinginkan. Walaupun hanya sedikit
yang setuju dengan pendangan tersebut, namun dihadapan sejumlah bukti yang
dikemukakannya, tidak dapat disangkal bahwa pendapatnya perludipertimbangkan
dengan serius. Fakta banyaknya pelecehan yang diungkapkan oleh Masson
(1992)ternyata berkaitan dengan situasi pelecehan wanita oleh pria yang
kemudian dibandingkan dengan fenomena sosial yang lebih umum, yaitu kekerasan
terhadap wanita yang diekspresikan melalui penganiayaan fisik, perkosaan, dan
pornografi.
Karakteristik sosial konseling menyebar
kedalam kerja konselor melalui tiga cara. Pertama, tindakan ingin menemui
konselor dan proses perubahan yang muncul dari konseling akan selalu memiliki
efek sosial dalam dunia si klien. Kedua, kekuatan dan status seorang konselor
bersumber dari fakta bahwa ia menjalankan peran yang memiliki otoritas sebagai
“penolong atau penyembuh”. Penyembuhan atau pertolongan yang secara spesiifik
diadopsi oleh konselor tergantung pada konteks cultural yang ada. Contohnya,
terapis yang ada di rumah sakit akan memakai bahasa sains untuk mendikripsikan pekerjaan
mereka, sedangkan mereka yang bekerja di klinik holistic atau pengobatan
alternative akan menggunakan kalimat pertumbuhan dan spiritualitas. Ketiga,
dimainkannya berbagai metode interaksi sosial yang mereka gunakan dalam
keseharian dalam hubungan antara klien-konselor.
Ketiga dimensi basis sosial atau cultural
dati konseling di atas saling berhubungan dan bereaksi dalam praktik. Contoh:
bagaimana ide-ide inibisa di satukan untuk mengkonstruksikan pemahaman cara
konseling beroperasi dalam konteks sosial disajikan oleh model “status
akreditasi” (accreditations status) Bergner dan Staggs (1987). Mereka
mereomendasikan agar para terapis dilihat sebagai anggota komunitas elite.
Menjadi seorang terapis berarti harus
menerima pangakuan bahwa ia adalah seorang yang rasional, signifikan, jujur,
dan kredibel. Karenanya, tiap karakter atau atribut yang ditugaskan oleh
terapis untuk klien cenderung diterima dan dipercaya. Bergner dan Staggs (1987)
menekankan bahwa dalam hubungan terapeutik yang positif, seorang harus
memperlakukan klien sebagai seorang yang masik akal pemikirannya, yang berhak
mendapatkan perhatian yang memiliki kekuatan untuk memilih dan yang memiliki
kemampuan. Pengatribusian atau pentransferan (assigment) karakter tersebut
kepada klien oleh orang yang memiliki status tinggi (seperti konselor atau
terapis) memiliki efek konfirmasi atau posisi atau status baru para klien yang
akan memunculkan rasa berhak yang lebih besar untuk berpartisipasi penuh dalam
masyarakat” (Bergner dan Staggs, 1987 : 315). Frank (1974: 272)
mempresentasekan sudut pandang yang sama dengan menulis, “ karena terapis
mempersentasekan masyarakat yang lebih besar, semua terapis membentuk klien
memerangi keterasingannya dan membangun kembali rasa ketertarikan dengan
grupnya, yang kemudian berujung pada bantuan untuk mengembalikan makna dalam
hidup.” Dari perspektif ini, terapi dapat dilihat sebagai proses sosial yang
menawarkan kepada orang-orang akreditasi terhadap status mereka sebagai anggota
masyarakat yang waras dan terhormat. Proses ini dapar dilihat berlawanan dengan
“pelabelan” mereka yang sakit mental sebagai orang luar yang berbahaya dan
irasional (Scheff, 1974).
9.
Citra Individu Yang Sangat Terkait Dalam
Pendekatan Konseling
Pada level praktik, dapat dikatakan bahwa
pendekatan konseling, seperti psokoanalisis atau terapi behavior, hanya terdiri
dari serangkaian strategi untuk memberikan pertolongan. Tetapi, dibalik
serangkaian prosedur praktik tersebut setiap pendekatan merupakan
representasecara melihat orang lain, sebuah gambaran bagaimana seharusnya
seseorang, sebuah visi moral (Crishtoper, 1996). Kembali pada masa-masa asylum,
orang gila dipandang sebagai seorang hewan: tidak rasional, tidak bida
berkomunikasi, dan tidak dapat dikendalikan. Beberapa dari anggapan ini masih
terdapat dalam citra individual Freudian, hanya saja kebinatangan/id dalam
psikoanalisis hanya satu bagian dari personalitas yang biasanya bersembunyi.
Sedangkan citra behaviouris terhadap seseorang disebut dengan mekanistik: klien
dilihat sebagai sebuah mesinyang rusak namun masih bisa diperbaiki. Citra klien
konseling dalam pendekatan kognitif juga bersifat mekanistik, hanya saja mereka
menggunakan metafora mesin modern: computer,. Dalam pandangan mereka klien
dilihat sebagai program konputer yang diprogram dengan tidak tepat, dan hal
tersebut dapat di perbaiki dengan menggantikan komando yang irasional dengan
yang rasional. Sedangkan citra individual humanistic lebih bersifat botanical.
Rogers, misalnya, seringkali menggunakan metafora yang berkaitan dengan
pertumbuhan sebuah tumbuhan dan kondisi yang mendukung atau menghalani
pertumbuhan tersebut.
Setiap citra diri ini memiliki sejarah.
Intinya, konseling muncul dari perjalanan panjang menuju sebuah individualism
yang komplet (Baumeister, 1987; Logan, 1987; Cushman, 1990, 1995). Sebagaian
besar karakteristik individualistic konseling jika tidak dapat dikatakan
seluruhnya membatasi relevansinya terhadap klienyang menyatakan dirinya
menganut tradisi collectivism.
Pertanyaan tentang dunia apa yang di persentasekan
oleh berbgai pendekatan konseling bermakna lebih dalam ketimbang sekedar
pengidentifikasikan akar metafora atau citara diri yang menjadi inti berbagai
system teori. Terdapat pula pertanyaan apakah model konseling merefleksikan
realitas dunia sebagaimana kita alami. Misalnya, teori psikoanalitik merupakan
produk masyarakat dengan dominasi pria. Banyak praktisi maupun penulis wanita
yang menilai bahwa mereka hanya sedikit dalam teori tersebut yang mereka kenal
sebagai realitas wanita. Pendekatan humanistic mempersentasekan visi dunia yang
positif dan optimistic, yang oleh sebagian kritisi dipandang sebagai penolakan
terhadap realitas tragedy, kehilangan dan kematian. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa hamper semua teori konseling mengandung perspektif hidup kelas
menengah bangsa kulit putih Judaco-Cristian.
Yang penting bagi konseling bahwa citra
individual atau pandangan yang dipersentasikan oleh pendekatan atau teori
tertentu didasari oleh kenyataan bahwa kita tidak hidup dalam dunia sosial yang
didominasi oleh serangkaian ide tunggal dan menyeluruh. Salah satu bagian
esensial dalam proses menjadi seorang konselor adalah memilih versi realitas
yang masuk akal, dan dapat di tinggali. Terlepas dari versi mana yang dipilih
perlu dipahami bahwa versi yang masuk akal hanya satu dari sekian banyak
kemungkinan yang ada. Klien misalnya, bisa saja memandang dunia ini dengan
sudut pandang yang berbeda. Dan mungkin karena itu perbedaan filosofis tersebut
menjadi sesuatu yang krusial. Van Deurzen-Smith (1988: 1) telah menyatakan:
“setiap pendekatan yang ada dalam konseling
didasari oleh serangkaian ide dan keyakinan akan hidup, dunia dan orang-orang.
Klien hanya dapat memperoleh manfaat dari pendekatan yang mereka rasa
sesuai/cocok dengan asumsi dasar mereka.”
Perbedaan akar metafora, citra atau asumsi
dasar tentang realitas yang mendasari berbagai pendekatan konseling dapat
menyulitkan atau bahkan membuatnya mustahil untuk mengharmoniskan atau
menyatukan beberapa pendekatan tertentu sebagaimana yang diilustrasikan dalam
debat antara Rogers dengan Skinner berkaitan dengan kealamiahan pilihan
(Kirshenbaum dan Henderson, 1990). Secara historis, perkembangan teori
konseling paling tidak sebagian telah didorong oleh ketegangan antara berbagai
ideology atau citra tentang individu. Sebagai contoh, perbedaan antara konsepsi
biologis dan eksistensi sosial seseorang muncul dalam banyak perdebatan teoritis
dalam bidang tersebut. Bakan (1966) menyatakan bahwa teori psikologis dan
terapi yang bersumber kepadanya dapat dipilah menjadi dua grup. Grup pertama
merangkul semua teori yang pada dasarnya menaruh perhatian kepada tugas
memahami misteri kehidupan. Sedangkan grup ke dua mengambil teori yang memiliki
tujuan mencapai kepakaran dalam hidup (mistery of life). Bakan (1966) memandang
mistery-mistery kompleks mendasari banyak perdebatan dan isu dalam psikologi
dan terapi.
Akhirnya, terdapat pertanyaan berkenaan
dengan cara citra individu digunakan dalam hubungan terapeutik, apakah citra
yang dipegang oleh konselor akan dipaksakan kepada klien, sebagai sebuah
strukturn rigid yang mengatur kehidupan klien, atau sebagaimana yang dipilih oleh Friedman
(1982), penyingkapan ilmiah manusia yang mengambil tempat diantara terapis dan
kliennya atau diantara anggota sebuah grup.
BAB
III
KESIMPULAN
Untuk memahami cara konseling dipahami dan di praktikkan,
disyaratkan adanya penghargaan terhadap sejarah konseling dan perannya dalam
masyarakat kontemporer. Orang-orang atau klien yang datang pertama kali
biasanya hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang apa yang mereka dapat.
Hanya sedikit orang yang memahami perbedaan antara psikiatris, psikologis,
konselor, dan psikoterapis, terlepas dari pendekatan alternative yang
ditawarkan. Namun di balik kekurangan informasi, semua itu menggemakan
serangkaian citra kultur yang mungkin mengandung ketakutan terhadap kegilaan,
rasa malu untuk meminta pertolongan, ritual pengakuan dosa, atau citra dokter
sebagai seorang penyembuh (healer). Dalam masyarakat multicultural, keragaman
citra tersebut dapat menjadi luas. Para konselor juga telah tenggelam dalam
citra cultural ini sebagaimana yang ia disosialisasikan ke dalam bahasa dan
ideology pendekatan konseling tertentu atau kepada norma dan nilai implicit
agensi konselor. Untuk memahami konseling, seseorang di tuntut untuk bergerak
keluar dari cakrawala ruang interview, kelingkungan sosial yang lebih luas
dimana ruang interview memiliki tempat special didalamnya.
RINGKASAN BAB
Ø Konseling muncul pada paruh ke dua abad dua
puluh. Untuk memahami apa defenisi dan yang ddilakukan oleh konseling,
diperlukan pemahaman terhadap akar sejarah perkembangan bentuk pertolongan ini.
Ø Pada periode pra-industrial, orang.orang
yang memilki masalah emosional ditolong oleh para anggota atau anggota
komunitas lainnya.
Ø Seiring dengan revolusi industrial dan
peningkatan sekulerisasi dalam masyarakat, pada abad Sembilan belas muncul
institusi dan profesi baru yang melayani masalah “sakit mental”
Ø Pada pertengahan abad Sembilan belas,
mermerisme (hipnotis) merupakan bentuk terapi psikologi yang digunakan secara
luas.
Ø Di penghujung abad Sembilan belas, Freud
mengintegrasikan berbagai pemikiran psikologi, medis, dan filosofi dalam sebuah
system psikoterapi lengkap pertama yang kemudian dikenal dengan sebutan
psikoanalisis
Ø Psikoanalisis terus menjadi aktivitas
pinggiran sampai kemudian diadopsi dengan antusias oleh berbagai sector dalam
masyarakat AS pada 1920.an dan 1930-an
Ø Teori client centered Carl Rogers
mempersentasekan pendekatan lebih popular dan bisa diterima yang berdampak pada
peningkatan penyebaran konseling.
Ø Perkembangan dan popularitas konseling yang
terus menanjak di AS disebabkan oleh mobilitas sosial dan konsumerisme tingkat
tinggi yang menghasilkan dfisiensi makna, atau empity self yang dibantu oleh
terapi tersebut.
Ø Elemen penting dalam evolusi konseling
adalah panduan karier dalam setting pendidikan dan relawan
Ø Adalah penting untuk menyadari bahwa dalam
masyarakat, konseling memainkan peran mempromosikan citra individu sebagai
makhluk yang self deterministic dan independen dan juga memainkan peran
mendukung strategi menghadapiberbagai permasalahan sosial dilevel individu.
Ø Konseling adalah sebuah aktivitas yang
mustahil dipisahkan dari kultur masyarakat industrial barat dank arena itu
tidak harus relevan dengan permasalahan yang dialami oleh anggota grup kultur
lainnya.
Konsep kunci
Asylum= obat jiwa
Ampity self= pendekatan clien centered
Filsafat hidup= peningkatan diri
Hypnosis= perawatan moral
Citra individu= perspektif behavior
Individualism= post modernisasi
Industrialism= psikiatri
Kapitalisme= psikoanalisis
Kultur= system workhouse
Makna sosial= trade in lunacy
mermerisme
c