Jumat, 29 April 2016

pendidikan karir bimbingan dan konseling

BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Pelaksanaan layanan Bimbingan Karir di sekolah dapatlah dipandang sebagai suatu proses yang berkesinambungan melalui campur tangan atau intervensi kurikuler yang dapat membantu para siswa di sekolah terutama dalam perencanaan karir, pembuatan keputusan, perkembangan keterampilan, informasi karir dan pemahaman diri.
Pada dasarnya pelaksanaan layanan Bimbingan Karir di sekolah berlangsung searah dan sejalan dengan pendidikan karir. Suatu pilihan yang dijatuhkan oleh para siswa akan mempunyai sangkut-paut dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya. Keputusan tentang jenis-jenis pekerjaan yang diinginkan barang tentu bersangkut-paut dan berkaitan dengan pendidikan yang harus ditempuhnya untuk mempersiapkan dirinya dalam pekerjaan yang diinginkannya. Sebaliknya, keputusan tentang pendidikan yang akan ditekuninya mempunyai implikasi langsung terhadap pekerjaan yang akan dibinanya setelah menamatkan pendidikannya.
B.                Rumusan Masalah
1.                  Apa yang dimaksud dengan pendidikan karir?
2.                  Bagaimana model-model pendidikan karir?
3.                  Apa tujuan pendidikan karir?
4.                  Bagaimana peran konselor dalam pendidikan karir?
C.                Tujuan
1.                  Mengetahui pengertian pendidikan karir
2.                  Mengetahui model-model pendidikan karir
3.                  Mengetahui tujuan pendidikan karir
4.                  Mengetahui peran konselor dalam pendidikan karir
BAB II
PEMBAHASAN
A.              Pendidikan Karir
   Untuk memberikan pemahaman sepintas tentang pendidikan karir, maka di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian tentang bimbingan karir, di antaranya adalah:
American Institute for Research, dalam bukunya yang berjudul Career Education (1973), mengemukakan
... the development of the skills and knowledge through which individual students may fulfill their own unique needs with regard to occupational choice, social responsibility, leisure time activity and personal development.
Menurut pengertian di atas, pendidikan karir adalah merupakan perkembangan daripada kecakapan dan pengetahuan yang secara langsung menembus individu siswa agar dapat memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhannya yang unik dengan memperhatikan beberapa aspek, di antaranya terhadap pilihan pekerjaan, tanggung jawab sosial, kegiatan penggunaan waktu luang dan perkembangan pribadinya.
Lois-ellen Datta dan Corinne H. Rieder, dalam bukunya Career Education in the National Institude of Education: A Status Report (1973), mengemukakan:
... the development of knowledge and of special and general abilities to help individuals and groups obtain, hold and advance in a job or a series of  jobs constituting a career.
Pendidikan karir dapat diartikan sebagai suatu perkembangan dari pengetahuan, kemampuan umum dan kemampuan khusus guna membantu individu-individu dan kelompok-kelompok untuk memperoleh pegangan dan mencapai kemajuan dalam pekerjaan, serta dalam merencanakan suatu kar
Kenneth. B. Hoyt dan Daryl Laramore, mengemukakan pendapatnya dalam artikel yang berjudul The Counselor’s Role in Career Education yang dimuat dalam jurnal American Personnel and Guidance Association (1974) menyatakan ... the totality of ways in which one learns about work.
Pendidikan karir merupakan totalitas dari usaha, jalan, atau cara yang terutama dan satu-satunya ditempuh dalam proses belajar dan berkaitan dengan pekerjaan. Atau dengan pengertian lain pendidikan yang dijalani oleh individu mempunyai implikasi langsung terhadap pekerjaan yang akan dipilihnya setelah individu bersangkutan menamatkan studinya.
Lebih lanjut James C. Hansen, mengemukakan pendidikan karir adalah suatu proses atau perkembangan yang bersifat seumur hidup, yang tujuannya adalah untuk membantu individu memiliki kecakapan atau mempunyai pemahaman yang jelas tentang alternatif kerja. Ditambah dengan membantu penyedian implementasi pemilihan karir untuk memperoleh kepuasan dan produktivitas dalam lapangan atau kehidupan kerja.
Berkaitan dengan hal di atas, James C. Hansen, Richard R. Stevic dan Richard W. Warner. Jr., mengungkapkan lima komponen pokok pendidikan karir dan merupakan pencerminan dari aspek-aspek pokok kebutuhan yang harus dipenuhi dalam karirnya yang dikutip dari pendapat Hoyt, sebagai berikut:
Pertama, setiap pengalaman belajar hendaknya selalu diikuti oleh aplikasinya dengan karir tertentu para siswa, guru, konselor, dan penasehat perlu diberikan kesempatan untuk mengintegrasikan antara pengetahuan dengan pekerjaan yang diembannya.  Kedua, latihan keterampilan yang diperlukan dalam rangka memasuki dunia kerja perlu diselenggarakan. Ketiga, komponen ini pada intinya perlu memberikan kesempatan kepada para siswa untuk memahami dan menghayati nilai-nilai kerja yang berorientasi pada sosial masyarakat. Keempat, kepada setiap siswa hendaknya diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memasuki dunia kerja secara nyata. Kelima, ditekankan pentingnya diidentifikasikan dan dipaparkan dihadapan para siswa aspirasi dari orang tua terhadap dunia kerja, kesempatan kerja yang tersedia di masyarakat dan sikap masyarakat terhadap dunia kerja yang tersedia.


B.                Model-model Pendidikan Karir

Model-model pendidikan kari yang dilaksanakan serta dipakai sebagai pola atau sebagai model oleh Kantor Departemen Pendidikan, Amerika Serikat, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
1.             School-based Comprehensive Career Education
Sebagian besar dari model ini ditekankan pada perkembangan dan memperluas lapangan pendidikan karir yang bermanfaat dalam memasukkan berbgai konsep perkembangan karir di Sekolah Dasar sampai dengan jenjang Sekolah Menengah Tingkat Atas. Kesadaran karir (career awareness), diutamakan penekanannya pada jenjang Sekolah Dasar, eksplorasi karir (career exploration) berlangsung pada tingkat SMP, persiapan karir (career preparation) dimulai tingkat SMA. Lebih lanjut Edwin L. Herr, menggambarkan unsur-unsur pendidkan karir, di antaranya:

Unsur
Hasil
Kesadaran karir
Identitas karir
Kesadaran diri
Identitas diri
Apresiai-apresiasi, sikap
Kepuasan diri dan sosial
Kemampuan pembuatan keputusan
Keputusan karir
Kesadaran ekonomi
Pemahaman ekonomis
Kesadaran kecakapan bekerja dan kompetensi-kompotensi awal
Keterampilan kecakapan bekerja
Keterampilan kecakapan bekerja
Penempatan karir
Kesadaran pendidikan
Identitas pendidikan
Sumber: Bruce Shertzer and Shelly C. Stone. Funamental of Guidance, 1976.
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai unsur-unsur yang dikembangkan melalui pendidikan karir di atas secara terperinci diuraikan sebagai berikut:
a.                  Kesadaran karir (career awareness), merupakan bentuk pemahaman akan dunia kerja secara menyeluruh dan manfaat, atau maknanya bagi kehidupannya. Unsur ini dikembangkan dan kemudian akan menghasilkan identitas karir (career identity), yang merupakan suatu realisasi dari perkembangan karir berupa kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam tahap-tahap pendidikan dan pengalaman pekerjaannya.
b.                  Kesadaran diri (self-awareness), yaitu bentuk kesadaran  yang dimiliki siswa terhadap dirinya sendiri, kebutuhan-kebutuhannya, kekuatan dan kelemahan pribadinya, serta potensi-potensi lainnya. Melalui pendidikan karir unsur dikembangkan dan kemudian menghasilkan identitas diri (self identity), yaitu berupa pengetahuan tentang dirinya sendiri yang bersifat positif dan secara langsung dapat membantu dalam membuat keputusan kehidupan karir.
c.                  Apresiasi-apresiasi dan sikap (appreciations attitudes), berupa suatu sistem nilai terhadap karir dan bagaimana peranannya. Apresiasi dan sikap ini dikembangkan melalui pendidikan karir dan menghasilkan kepuasan diri dan sosial (self social fullfillment). Kepuasaan diri dan sosial ini terjadi sebagai akibat dari adanya internalisasi nilai-nilai dan peranan karir yang sekaligus dapat mengarahkan pada kegiatan dan kepuasan dalam bekerja di masyarakat.
d.                 Kemampuan pembuatan keputusan (decision making skills), yaitu bentuk pemahaman siswa terhadap tahapan-tahapan pembuatan keputusan, di antaranya meliputi tindakan identifikasi alternatif, memilih alternatif dan pelaksanaan alternatif. Melalui pendidikan karir akan dikembangkan unsur ini  dan menghasilkan keputusan karir (career decisions).
e.                  Kesadaran ekonomis (economic awareness), kesadaran yang dimiliki siswa terhadap relasi antara ekonomik pribadi, pola hidup dan pekerjaan. Dengan melalui pendidikan karir akan dikembangkan unsur ini kemudian menghasilkan pemahaman ekonomis (economic understanding).
f.                   Kesadaran kecakapan bekerja dan kompetensi awal (skill awareness and beginning competence), berupa dasar-dasar keterampilan kognitif yang dituntut dalam mengidentifikasikan tujuan dari suatu tugas, prosedur tugas, melaksanakan tugas-tugas dan mengadakan evaluasi. Melalui pendidikan karir akan dikembangkan unsur ini dan kemudian menghasilkan kecakapan bekerja (employment skills), yaitu keterampilan dalam melaksanakan tugas-tugas yang dituntut.
g.                  Keterampilan kecakapan bekerja (employability skills), yaitu berbagai bentuk keterampilan yang dituntut guna dapat secara langsung melakukan berbagai tugas secara tepat. Melalui pendidikan karir unsur ini dikembangkan kemudian menghasilkan penempatan karir (career placement) yang tepat.
h.                  Kesadaran pendidikan (educational awareness), suatu bentuk pengenalan dari siswa tentang makna perkembangan keterampilan dasar dan penguasaan pengetahuan dalam mencapai tujuan karir yang telah ditetapkan melalui alur pendidika karir. Dengan demikian unsur ini akan menghasilkan identitas pendidikan (career identity), yaitu suatu keberhasilan pendidikan yang telah dicapai siswa yang kemudian merupakan dasar keberhasilan karir.
2.                  Employer based Career Educational Model
Model pendidikan karir di mana basisnya adalah pekerja, bermanfaat untuk merencanakan alternatif-alternatif yang lebih komprehensif pada pendidikan umum. Dalam model ini pendidikan ditekankan untuk siswa adalah dengan cara mengubah sistem sekolah yang telah ada dengan sistem pendidikan untuk orang dewasa, pekerja, dan kegiatan belajar dengan lingkungan dan mendemonstrasikan sesuatu yang bersangkutpaut dengan pendidikan serta secara langsung melibatkan siswa dalam operasi kerja dengan masyarakat. Menurut Herr, sistem belajar dengan lingkungan adalah integral dengan  model pendidikan di mana basisnya adalah pekerja, bertujuan untuk:
a.                  Mengulangi dan memperkuat kompetensi siswa dan minatnya.
b.                  Menyediakan kesempatan kepada para siswa dalam bermacam-macam kegiataan dengan orang-orang lainnya, tetapi terbatas pada kelompok teman sebaya dan guru-guru yang ada dalam lingkungan sekolah.
c.                  Mengembangkan suatu kekuatan konsep diri (self concept) dan secara langsung berpartisipasi dalam diri individu dan dalam program belajar mandiri.
d.                 Menyediakan bermacam-macam kesempatan pada siswa untuk mendapatkan secara langsung informasi yang tepat. Kesempatan-kesempatan yang ada dan syarat-syarat, sertakeuntungan dan kerugian dari bermacam-macam pilihan karir.
3.                  Home-based Career Education Model
Model pendidikan karir di mana basisnya adalah keluarga menitiberatkan kepada pemberian penerangan untuk individu-individu, terutama untuk orsng dewasa, tentang adanya berbagai macam atau jenis pekerjaan dan kesempatan-kesempatan untuk mengikuti latihan dalam masyarakat dan menggunakan media massa sebagai sarana untuk menjaing penduduk dalam program ini.
4.                  Rural Residential-based Career Education Model
Suatu model pendidikan karir di mana basisnya adalah penduduk pedesaan. Model pendidikan karir ini menitiberatkan untuk pekerja-pekerja di bawah umur dan berbagai macam masalah keluarga-keluarga pedesaan. Model ini memberikan bentuk-bentuk bantuan dengan melalui pendidikan remedial, konseling dan memberikan penerangan dalam membina keluarga, dan memberikan berbagai keterampilan alam mengembangkan keluarga.
 Lebih lanjut G. J. Swanson, dalam bukunya berjudul Concept in Career Education (1971) memberikan beberapa contoh dan alasan kenapa sekolah-sekolah memiliki tanggung untuk memberikan pendidikan karir, alasannya adalah sebagai berikut:
a.              Pelaksanaan rencana-rencana pendidikan ditujukan pada bentuk pengajaran yang melibatkan kegiatan-kegiatan siswa di luar kelas.
b.             Memperluas kursus-kursus yang mengarah kepada pekerjaan atau jabatan.
c.              Memperluas pilihan-pilihan pendidikan siswa dan memiliki kebebasan untuk memasuki pendidikan sambungan, serta memasuki dunia kerja.
d.             Memperluas pengalaman kerja dan program studi dalam pekerjaan dalam rangka pengalaman eksplorasi karir.
e.              Menciptakan suatu sistem pendidikan dengan berbagai kemungkinan “masuk secara terbuka” dan “keluar secara terbuka”.
f.              Mendirikan kursus-kursus baru, kursus-kursus mini, unit-unit kursus yang ada dan pusat percobaan dengan membangun dan menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam rangka eksplorasi, merencanakan karirnya.

C.                Tujuan Pendidikan Karir

Institusi program pendidikan karir di sekolah-sekolah pada umumnya dilaksanakan dengan tujuan yaitu:
1)                  Membantu para siswa untuk dapat mengeksplorasi terhadap sekelompok pekerjaan.
2)                  Menyiapkan dengan berbagai  informasi  tentang karir dan pasar kerja secara luas
3)                  Menyiapkan dan melengkapi  para siswa dengan kecakapan umum dan kecakapan khusus serta memiliki keyakinan yang mantap dalam rangka memasuki pekerjaan.
4)                  Menyiapkan berbagai bentuk bantuan dari konselor pada para siswa dalam proses perencanaan karir.
Lebih lanjut Hoyt dan Lamore, dalam bukunya the counselor’s Role in Career Educations, diterbitkan oleh American Personnel and Guidance Assocoation, (1974) meninjau arah dan tujuan pendidikan karir di sekolah dari berbagai macam tingkat dan umur, diantaranya:
1.                  Kemampuan yang berpusat pada kecakapan academia yang diadaptasikan untuk mempercepat peralihan sosial masyarakat.
2.                  Melengkapi dengan kebiasaan untuk bekerja dengan baik.
3.                  Mampu untuk memiliki dan dapat menentukan pilihan tertentuterhadap nilai kerja dari suatu pekerjaan.
4.                  Melengkapi dengan kemampuan pembuatan keputusan , memburu pekerjaan dan keterampilan memperoleh pekerjaan.
5.                  Melengkapi dengan kemampuan untuk bekerja pada suatu tahapan tertentu untuk memungkinkan bagi para siswa untuk memasuki suatu pekerjaan dan kemudian mencapai suatu tangga untuk sukses dalam bekerja dalam masyarakat.
6.                  Melengkapi dengan keputusan karir yang berpusat pada dirinya sendiri dari sekelompok-sekelompok kemungkinan yang luas, serta kesempatan dalam pendidikan serta kaitannya dengan pekerjaan.
7.                  Tersedianya kesadaran yang berarti pada diri siswa untuk memperoleh pendidikan secara kontinu atau berulang-ulang kea rah system pendidkan formal.
8.                  Kerhasilan dalam pengelolaan penempatan pekerjaan, lebih lanjut dalam pendidikan ataupun pekerjaan yang konsisten dengan keputusan-keputusan karir.
9.                  Keberhasilan dalam menggabungkan nilai-nilai pekerjaan kedalam keseluruhan bestruktur nilai kepribadiannya adalah sesuatu yang mampu mereka lakukan untuk memilih suatu gaya hidup yang diinginkan.
Herr akhirnya memberikan kesimpulan tentang pendidikan karir berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.
1.                  Suatu usaha untuk mengurangi jurang pemisah antara pendidikan vocational dan pendidikan akademisi
2.                  Suatu bidang usaha yang menitikberatkan perhatiannya pada beberapa implikasi operational setiap tingkat pendidikan atau tahapan dari taman kanak-kanak pra sekolah sampai tingkat sekolah.
3.                  Suatu proses untuk memberikan jaminan dikeluarkannya setiap orang dari struktur pendidikan formal untuk mendapat kemampuan kecakapan bekerja dalam pekerjaan dari beberapa tipe pekerjaan tertentu.
4.                  Suatu tanggapan langsung terhadap pentingnya individu memperoleh kemudahan-kemudahan dalam pembuatan keputusan.
5.                  Suatu jalur dari pertambahan pendidikan yang relevan atau berarti memberikan pendidikan yang tepat pada saat ini pada sejumlah siswa.
6.                  Suatu perencanaan untuk memberikan kesempatan pendidikan dengan system terbuka.
7.                  Suatu struktur yang berkeinginan untuk mengadakan bentuk-bentuk kerjasama antara lain sebagai unsure pendidikan yang ada disekolah, lapangan industry dan masyarakat.
8.                  Suatu usaha yang membutuhkan teknologi baru dan materi-materi pendidikan , misalnya program individualisasi dan stimulasi.
9.                  Suatu bentuk pendidikan untukkepentingan semua siswa.

D.              Pendidikan Karir Dan Konselor

Konselor-konselor yang bertugas pada lembaga pendidikan untuk semua tingkat dan dalam setting non pendidikan adalah secara professional melibatkan sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing lembaga. Tugas-tugas yang diemban oleh konselor professional baik dalam setting pendidikan dan non pendidikan berkewajiban untuk melibatkan dirirnya dalam program-program yang telah digariskannya dan merealisasikan dirinya dengan tujuan pendidikan karir. Suatu program pendidikan karir akan berfungsi  efektif apabila dikaitkan dengan perkembangan karir. Karena perkembangan adalah merupakan komponen dasar dari pendidikan karir. Maka dari itu dalam pelaksanaan pendidikan karir konselor professional sebagai bagian dari staf yang menangani program pelaksanaan pendidikan karir memiliki peranan yang penting dan ikut menentukan keberhasilan pelaksanaan program layanan pendidikan karir.


BAB III
PENUTUP
Pendidikan karir adalah merupakan perkembangan daripada kecakapan dan pengetahuan yang secara langsung menembus individu siswa agar dapat memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhannya yang unik dengan memperhatikan beberapa aspek, di antaranya terhadap pilihan pekerjaan, tanggung jawab sosial, kegiatan penggunaan waktu luang dan perkembangan pribadinya.
Model-model pendidikan kari yang dilaksanakan serta dipakai sebagai pola atau sebagai model oleh Kantor Departemen Pendidikan, Amerika Serikat, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
1.                  School-based Comprehensive Career Education
2.                  Employer based Career Educational Model
3.                  Home-based Career Education Model
4.                  Rural Residential-based Career Education Model
Institusi program pendidikan karir di sekolah-sekolah pada umumnya dilaksanakan dengan tujuan yaitu:
1.                  Membantu para siswa untuk dapat mengeksplorasi terhadap sekelompok pekerjaan.
2.                  Menyiapkan dengan berbagai  informasi  tentang karir dan pasar kerja secara luas
3.                  Menyiapkan dan melengkapi  para siswa dengan kecakapan umum dan kecakapan khusus serta memiliki keyakinan yang mantap dalam rangka memasuki pekerjaan.
4.                  Menyiapkan berbagai bentuk bantuan dari konselor pada para siswa dalam proses perencanaan karir.
Karena perkembangan adalah merupakan komponen dasar dari pendidikan karir. Maka dari itu dalam pelaksanaan pendidikan karir konselor professional sebagai bagian dari staf yang menangani program pelaksanaan pendidikan karir memiliki peranan yang penting dan ikut menentukan keberhasilan pelaksanaan program layanan pendidikan karir 

DAFTAR PUSTAKA

Sukardi, Dewa K. 1984. Bimbingan Karir Di Sekolah-sekolah. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Akar Konseling Tinjauan Historis dan Kultural

BAB II
PEMBAHASAN
A.                Akar Konseling : Tinjauan Cultural Dan Historis
1.                  Trade In Lunacy
Walaupun konseling dan psikoterapi baru tersedia secara luas pada paruh kedua abad dua puluh, akan tetapi akarnya dapat dilacak ke awal abad delapan belas, mempersentasekan titik balik cara masyarakat merespons kebutuhan orang-orang yang memiliki masalah dalam hidup mereka. Pada masa sebelum ini, masalah dalam hidup ditangani dari perspektif agama yang diimplementasikan pada tingkat komunitas local (McNeill, 1951neugebaur, 1978,1979). Di eropa, mayoritas hidup dalam komunitas pedesaan kecil dan dipekerjakan ditanah tuan tanah. Dalam cara hidup seperti ini, kegilaan atau yang sangat terganggu ditoleransi sebagai bagian dari komunitas. Masalah interpersonal akuan dosa, misalnya McNeill (1951) merujuk tradisi penyembuhan religious ini sebagai “obat bagi jiwa”. Dan, aspek terpenting dari obat jiwa tersebut adalah pengakuan dosa yang diikuti penyesalan. McNeill (1951) menekankan bahwa pada awalnya pengakuan dosa dilakukan dihadapan publuk, dan sering diikuti dengan peringatan yang bersifat komunal, doa, dan bahkan pengucilan. Rirual Kristen awal untuk menolong jiwa, sebagaimana festival mimpi Indian irogous, merupakan urusan komunal. Baru beberapa periode setelah itu terbebtuk pengakuan dosa yang bersifat pribadi. McNeill (1951) memberikan banyak contoh pendeta yang menjalankan peran sebagai konseling terhadap para pengembala mereka pada abad 16 dan 17.
Para penulis, seperti Foucoult (1967), Rothman (1971), scull (1979, 1981b, 1989), dan porter (1985), menyatakan bahwa semua ini mulai berubah seiring dengan merebaknya revolusi industry, kapitalisme mulai mendominasi ekonomi dan kehidupan politi, dan nilai-nilai sains mulai meninggalkan nilai-nilai agama. Perubahan dasar dalam struktur sosial dan kehidupan sosial serta ekonomi yang terjadi saat ini diikuti oleh perubahan mendasar dalam hubungan antar manusia dan cara orang mendefinisikan serta menghadapi tuntutan emosional dan psikologis. Albee (1977: 154) menulis:
“ kapitalisme mensyaratkan pengembangan rasionalitas tingkat tinggi yang diiringi dengan represi serta control terhadap pencarian kesenangan. Ini artinya control ketat terhadap impuls-implus dan pengembangan etika kerja yang menjadikan pencapaian kepuasan tingkat tinggi sebagaian besar orang berasal dari kerja keras. Kapitalisme juga menuntut usaha personal untuk mencapai tujuan jangka panjang, sebuah peningkatan otonomi independensi personal. System tersebut sangat tergantungpada penghematan ketat, kreativitas, dan yang terpenting dari semua semua itu, control yang ketat serta penekanan hasrat seksual.
Sebagaiman yang dinyatakan oleh albee (1977), perubahan psikologi kunci yang terjadi adalah pergeseran dari masyarakat “berpusat-tradisi” (tradition-centered) (reisman at al, 1950) kepada masyarakat yang menekankan pada “arahan kedalam”. Dalam budaya traditional, orang hidup dalam sebuah komunitas yang relative kecil, yang memungkinkan anggotanya untuk saling mengenal, dan tingkah laku dimonitor dan dikontrol oleh orang lain. Dalam komunitas  tersebut terdapat pengawasan langsung terhadap apa yang seseorang lakukan, sekaligus tindakan langsung terhadap penyelewengan sosial melalui hukuman atau pengucilan. Dasar dari sosila control dalam komunitas tersebut adalah persaan malu. Sebaliknya dalam masyarakat urban,industrialis, hidup menjadi sangat impersonal dan karena itu control sosial harus diimplemntasikan ,melalui internalisasi norma dan regulasi (kesalahan) yang menjadikan ketidakpatuhan terhadap regulasi tersebut sebagai sebuah kesalahan. Dari analisis ini, dimungkinkan utuk melihat elemen sntral budaya masyarakat urban, industrialisasi dan kapitalis menciptakan kondisi pengembangan metode untuk menolong, membimbing, dan mendukung kebingungan dan dilemma yang dialami oleh kehidupan personal dan individualis seseorang. Walaupun demikian bentuk pertolongan dibentuk oleh even dan proses lainnya,
   Perhitungan yang disusun oleh scull (1979) mengidikasikan bahwa antara 1800-90, proporsi populasi penduduk yang hidup di inggris dan wales mencapai 20.00 orang, meningkat dari 17%  hingga 54%. Orang-orang meninggalkan tanah garapan mereka, pindah kekota dan bekerja dipabrik-pabrik baru. Bahkan ditanah garapan, pekerjaan dilakukan lebih mekanik dan beriorentasi profit. Perubahan ekonomi dan sosial dalam skala besar ini berdampak sangat dalam terhadap anggota masyarakat yang kurang beruntungatau cacat. Sebelum ini kehidupan yang ada adalah kehidupan pedesaan yang tenang, kemungkinan bekerjanya anggota keluarga dirumah, dan adanya tugas yang mungkin dilaksanakan oleh orang yang kurang cerdas sekalipun. Sekarang yang ada adalah disiplin mesin dan jam-jam panjang dipabrik, serta fragmentasi komunitas dan keluarga yang sebelunya adalah intstitusi yang memperhatikan mereka yang tua,sakit,miskin, dan gila. Tuntutan tersebut dengan cepat menumbuhkan system jaminan Negara bagi komunitas yang kurang sukses ini, yang kemudian dikenal dengan istilah rumah penampungan (workhouse). Para penghuni tumah penampungan diharuskan bekerja, dengan disiplin yang ketat. Akan tetapi, beberapa saat kemudian disadari bahwa kegilaan yang timbul semakin sulitdikontrol dan merupakan penghancuran terhadap rezim rumah penampungan. Sebagiamana yang dilaporkan oleh salahsatu rumah penampungan pada 1750.
   “ undang-undang telah mengatur bahwa tidak adanya tunjangan khusus  bagi mereka yang gila dan harus dakui bahwa rumah penampungan biasa tidak sesuai bagi individual yang tak bisa diatur dan pembuat onar ini, yang membutuhkan sebuah apartemen terpisah. (diterangkan dalam scull, 1979:41)
   Secara gradual, asylum, apartemen terpisah tersebut mulai dibangun. Mulai dengan lambat pada awal abad 18 untuk kemudian mendapatkan penguatan dengan asylum act 1845, yang mewajibkan penguasa local untuk membuat asylum public. Pembangunan ini menandai keterlibatan sistematis Negara untuk untuk yang pertama kali dalam masalah penangan orang gila dalam masyarakat eropa. Awalnya, asylum dilihat sebagai tempat penampungan orang-orang gila saja, jarang sekali ada campur tangan terapi. Dibeberapa asylum yang dijalankan oleh quakers, misalnya asylum tuke at York, telah berkembang apa yang dikenal sebagai “perawatan moral” (scull, 1981a). sayangnya disebagaian besar intitusi para orang gila diperlakukan bak hewan dan tetap berada dalam kondisi yang menyedihkan. Rumah sakit jiwa bethlem di London misalnya, dibuka untuk public yang dapat melihat para orang gila tersebut dengan membayar satu penny. Pada awal perkembangan pembangunan asylum ini, sekitar abad ke 19, tenaga kesehatan kurang menaruh perhatian terhadap orang gila. Dari investigasi historis yang dilakukan oleh scull (1975) dapat dilihat bahwa profesi medis perlahan-lahan menyadari bahwa ada keuntungan yang dapat dikeruk orang gila tersebut. Keuntungan tersebut bukan saja dari menjalankan asylum yang dibiayai oleh Negara, tetapi juga dari menjalankan asylum untuk orang gila yang berasal dari kelas atas. Kekuatan politik profesi medis di inggris memungkinkan mereka untuk memengaruhi acts of parliament yang memberikan control asylum secara penuh terhadap mereka. Kejayaan perawatan moral (moral treanmen) dapat dilihat sebagai momen kunci dalam psikoterapidiman ilmu pengetahuan (sains) menggantikan agama sebagai ideology dominan dalam menangani orang gila.
            Pada akhir abad ke 19 tenaga kesehatan mengonsolidasikan konrol mereka terhadap “trade in lunacy”. Sebagian dari proses konsolidasi tersebut mencakup penulisan kembali sejarah kegilaan. Bentuk religi penangan orang gila yang disebut sebagai demonology (study tentang iblis) dan pembantaian terhadap mereka yang dianggap penyihir secara keliru sebagai aliran utama pendekatan prasains atau pramedis terhadap kegilaan (Szasz, 1971; Kirsh, 1978; Spanos, 1978). Baru kemudian phrenology (study tentang ukuran dan bentuk tengkorang kepala yang diduga sebagai indikasi karakter dan kemampuan mental) (Cooter, 1981) atau pemuasan seksual atau msturbasi (Hare, 1962) misalnya muncul sebagai penjelasan medis dan biologis terhadap kegilaan. Diantara perawatan fisik yang diuji coba sebagai perawatan penanganan terhadap kegilaan adalah:
“ injeksi morphia pada bagian hypodermis, penggunaan bromides, chloral, hydrate, hipocymine, physotigma, cannabis indicta, amyl nitrate, cinium, digitalis, ergot, pilocarpine, pengguanaan listrik, bak turki dan baju basah, serta pengobatan lain yang terlalu banyak untuk disebutkan, adalah yang paling banyak dianjurkan (tuke, 1882, history of the insane, yang dikutip dalam scull, 1979)
            Tema terpenting dalam periode ini adalah pengguanann asylum sebagai tempat melecehkan wanita yang merupakan mayoritas penghuninya (Showalter, 1985). Diakhir abad tersebut, spesialis psikiatri telah mendapatkan tempat berdampingan dengan spesialisasipengobatan lainnya, didukung oleh system klasifikasi kekacauan psikiatri yang disusun oleh kraepelin, bleuler, dan lai-lain. Banyak pengembangan yang terlihat controversial waktu itu. Misalnya, terjadi perdebatan seru dengan persepsi pengurungan orang gila dalam sebuah institusi karena kontak dengan sesama penderita gangguan jiwa cenderung membantu pemulihan mereka. Beberapa kritik pada saat itu menyatakan bahwa perawatan dalam komunitas lebih baik pada penginstitusian orang gila tersebut. Terdapat pula pada waktu itu kecaman keras dari public terhadap kekasaran dalam penganan para pasien, dan skeptisisme terhadap efektivitas pendekatan medis.
            Isu perdebatan seputar perawatan orang gila diabad Sembilan belas terlihat sangat akrab bagi kita dari sudut pandang terhadap hal tersebut satu abad kemudian. Kita masih memperdebatkan hal yang sama. Namun tinjauan yang berkenaan dengan yang bagaimna muasal isu ini muncul menggiring kita untuk focus terhadap sejumlah kesimpulan berkenaan dengan karakter alami perawatan yang ditawarkan kepada individu dengan gangguan emosional dalam masyarakat industry modern. Ketika kita melihat kelahiran psikiatrik dan membandingkannya dengan apa yang terjadi pada awal abad Sembilan belas, maka kita akan melihat:
a)      Masalah emosional dan tingkah laku dalam hidup digolongkan dalam masalah-masalah medis.
b)      Terdapat “trade in lunacy”, sebuah keterlibatan kekuatan pasar dalam pengembangan pelayanan tersebut.
c)      Terdapat peningkatan jumlah penolakan terhadap kebrutalan dalam cara menangani orang gila, dan juga lebih banyak control sosial dalam penganan tersebut
d)     Pelayanan yang ada pada waktu itu dikontrol oleh pria dan digunakan untuk melecehkan wanita
e)      Sains menggantikan agama sebagai kerangka kerja untuk memahami kegilaan.
Tidak satupun dari faktor yang disebutkan diatas terbukti hingga terjadi revolusi industry, dan semua itu masih ada hingga saat ini. Semua itu dapat dilihatsebagai fondasi respons masyarakat industry, urban dan sekuler terhadap pertanyaan yang berkenan dengan kegilaan. Filsuf sosial foucoult (1967) menyatakan bahwa salah satu nilai inti tatanan sosial baru yang muncul diabad Sembilan belas adalah akal sehat dan rasionalitas. Dalam sebuah masyarakat yang mementingkan rasionalitas dan perspektif sains dalam hidup, tidak diragukan lagi orang gila yang sudah kehilangan akal sehatnya akan menjadi kambing hitam sumber ancaman yang harus diasingkan dalam sebuah asylum di suatu tempat diluar kota. Era ini yang dideskripsikan foucoult (1967) sebagai era “pengekangan” (confinement), dimana masyarakatnya mengembangkan penekanan pengerangkengan semua hal yang tidak rasional dan pengekangan seksualitas.
2.                  Penemuan psikoterapi
Pada akhir abda Sembilan belas, psikiatri telah menempati posisi dominan dalam penangan kegilaan pada saat itu deikenal dengan “sakit mental”. Kini dari dalam dunia pengobatan dan psikiatri, muncul psikoterapi sebagai spesialisasi baru.diantara para psikolog awal yang menyebut mereka sebagai psikoterapis adalah Van Ellenberger Renterghemdan Van Eeden yang membuka klinik psikoterapi sugestif di Amsterdam pada tahun 1887 (Ellenberger, 1970). Van eeden memdefinisikan psikoterapi sebagai,” penyembuhan tubuh oleh pikiran, yang dibantu oleh implus dari satu pikiran kepikiran yang lain” (Ellenberger, 1970:765). Hypnosis adalah sebuah fenomena yang sangat menarik bagi para praktisi medis eropa di abad ke-19. Ditemukan oleh perintis teori “magnetism binatang”, Johann Joseph Gassner (1727-79) dan Frans Mesmer (1734-1815), hipnotisme digunakan secara luas sebagai obat bius untuk perasi sebelum ditemukannya obat bisu secara kimia. Pada 1880-an, Charcot dan Janet dua orang psikiatris perancis ternama mulai mencoba hipnosisi sebagai metode menangani pasien yang histeris. Ada dua aspek dalam teknik hypnosis mereka yang kemudian berlanjut hingga saat ini sebagai konsep kunci dalam konseling dan psikoterapi komtenporer.
1)                 Mereka menekankan pentingnya hubungan antara dokter dan pasien. Mereka mengetahui bahwa hypnosis tidak akan menjadi efektif tanpa keberadaan kondisi yang mereka sebut “kedekatan”
2)                 Mereka menyatakan bahwa alasan dibalik kebermanfaatan hypnosis bagi pasien adalah karena teknik tersebut memberikan akses kepada daerah pikiran yang tidak terakses ketika sedang sadar.
Dengan kata lain, porsi konsepsi pikiran bawah sadar yang merupakan bagian mekanisme hipnotisme abad ke-19 sama banyaknya ketika konsepsi tersebut menjadi bagian dari psikoterapi abda ke -20 dan 21.
Peran yang dimainkan oleh hipnosisi dalam kemunculan psikoterapi amat signifikan. Borguignon (1979), prince (1980), dan yang lainnya telah mengamati ritual penyembuhan suku primitive yang tergantung pada keadaan trance (setengah sadar) atau kondisi kesadaran yang berubah (altered states of conciousness). Kemunculan mermerisme dan hypnosis pada abad ke- 18 dan  19 di eropa, dan transformasi mereka terhadap psikoterapi, dapat dilihat sebagai asimilasi bentuk kultur tradisonal dalam ilmu kedokteran modern. Berkenaan dengan tingginya popularitas mermerisme di amerika pada abad ke- 18, Cushman (1995:199) menulis, “ hingga tingkat tertentu, mermerisme merupakan psikoterapi sekuler pertama di amerika, sebuah cara untuk memberika pelayanan psikologi kepada penduduk amerika yang tidak berada dibawah gereja.
            Figure kunci dalam transformasi dari hypnosis kepada psikoterapi adalah Sigmund Freud. Setelah menghabiskan empat bulan bersama Charcot di Paris, sighmund kembali ke Vienna untuk mendirikan praktik psikiatri pribadi. Dia kemudian meninggalkan teknik hypnosis, dan memilih untuk mengembangkan teknik psikoanalisisnya sendiri, yang didasarkan kepada asosiasi bebas (free association) dan interpretasi mimpi (dream interpretation). Pada akhirnya, freud menjadi salah satu figure paling berpengaruh, tidak hanya pada arena medis dan psikoterapi, tapi juga sejarah kebudayaan eropa. Tanpa bermaksud menolak kreativitas dan kejeniusan freud adalah penting untuk mengkritisi beberapa pendekatan yang diindikasikan tren intelektual dan praktik sosial pada waktunya. Diantaranya:
1)      Sesi individual dengan para analis merupakan perluasan dari praktik normal konsultasi empat mata dokter-pasienyang umum terjadi pada waktu itu.
2)      Ide freud berkenaan dengan kekuatan kehidupan tunggal (unitary life-force) alias libido bersumber dari teori biologis abad ke 18
3)      Ide yang menyatakan bahwa problem emosi memiliki kausa seksual sangat diterima pada abad 19
4)      Ide tentang bawah sadar telah digunakan bukan hanya oleh hypnosis tapi juga oleh beberapa penulis filsuf abad ke-19.
Kontribusi unik freud adalah kemampuannya mengasimilasikan semua ide tersebut kedalam sebuah model teori koheren yang sangat terbukti bernilai banyak bidang. Signifikansi cultural dibalik ide freud dapat dilihat dari asumsi implicit bahwa kita semua neurotic, bahwa dibalik setiap topeng dari seseorang yang paling sukses sekalipun terdapat konflik batin terhadap dirinya (inner conflic) dan dorongan instingtual (instingtual drive). Pesan yang ingin disampaikan oleh freud adalah psikiatri bukan hanya berguna nagi orang gila di asylum, tetapi juga bagi semua orang. Serangkaian ide yang terdapat dalam psikoanalisis juga merefleksikan tantangan yang dihadapi oleh kelas menengah Eropa untuk membuat transisi dari bentuk tradisional kepada bentuk yang lebih modern. Solod (1982: 51-52) menulis bahwa masyarakat viktorian;
“ cukup pantas untuk memandang orang yang lrbih tua sebagai figure ayah dan diri sendiri sebagai anak dalam hubungan dengan mereka. Dalam dunia modern yang sekuler, ekonomi yang tidak berperikemanusiaan dan kontrak kerja cenderung mengikatkan kita kepada otoritas. Oleh karena itu, hubungan transferensial kepada otoritas menjadi tidak sesuan dan maladaktif ketimbang fungsional.
            Entah bagaimana, dampak ide freud ian di Eropa dan Inggris selama hidupnya sangat terbatas, dimana psikoanalisis hanya bisa diterima diakses oleh intelektual kelas menengah dan artis. Di Inggris misalnya, perkembangan psikoanalisis diasosiasikan kepada grup intelektual elite “Bloombury” (kohon, 1986). Dan keadaan tersebut berlangsung hingga psikoanalisis berimigrasi ke amerika sehingga psikoanalisis kemudian menjadi konseling menjadi banyak tersedia.
3.                  Pertumbuhan Psikoterapi di Amerika Serikat
Freud tidak menyukai masyarakat Amerika Serikat. Bersama Jung dan Ferenczi, dia pernah mengunjungi Amerika Serikat pada tahun 1909 untuk menyampaikan serangkaian kuliah dan menerima gelar kehormatan dari universitas Clark. Namun dikemudian hari ia menulis bahwa kepergiannya ke Amerika adalah sebuah “kesalahan besar” (Gay, 1988). Walaupun demikian, kultur Amerika menggemakan ide psikoanalisis, sehingga ketika fasisme di Eropa memaksa para analis seperti Ferenczi dan Erikson pindah ke New York, mereka menemukan klien yang sangat bersemangat. Dibandingkan Eropa, masyarakat Amerika mendemostrasikan tingkat mobilitas yang lebih tinggi, dengan orang-orang yang sangat senang untuk bekerja, hidup, dan menikah diluar lingkungan, kota, kelas sosial, atau group etnis mereka. Karena itu, disana banyak terdapat individuyang memiliki masalah dalam menciptakan hubungan yang memuaskan atau rasa aman akan identitas diri (secure sense of personal indentity). Lagi pula “mimpi Amerika” mengatakan bahwa setiap orang lebih baik, dan menekankan pengejaran terhadap kebahagiaan individual merupakan tujuan hidup yang legitimate. Psikoterapi menawarkan metode peningkatan diri yang paling mendasar sekaligus radikal. Para psikoanalisis yang datang ke Amerika pada 1930-an menemukan ketertarikan yang sangat kuat terhadap psikologi, sebagaimana diindikasikan dalam buku self-help karya Samuel Smiles dan tulisan behaviorist J.B.Watson. di amerika juga terdapat tradisi psikologi terapan yang sangat kuat, yang memberikan dorongan terhadap keterlibatan para psikolog akademis dalam angkatan perang Amerika di perang Dunia Pertama. Tes psikologis digunakan secara luas dalam pendidikan, seleksi kerja, dan bimbingan karir. Dan, semua itu menunjukkan bahwa konsepsi penggunaan psikologi untuk membantu orang biasa benar-benar taken for granted.
Ide psikoanalisis sangat menarik bagi orang Amerika, namun untuk mengasimilasikan dengan ide tersebut kedalam kultur Amerika diperlukan Amerikanisasi” pemikiran Freud. Freud hidup dalam masyarakat yang terorganisasi secara hierarkis, dominasi kelas, dan sudah menulis dari filsafat hidup yang sudah tenggelam dalam pengetahuan klasik dan ilmu biologi, dipengaruhi oleh pesimisme yang tumbuh dari status yahudi dirinya di saat kekerasan antisemik merebak. Karena itu, ada beberapa tema dalam tulisannya yang tidak sesuai dengan apa yang dialami orang Amerika. Hasilnya, pada 1950-an muncul penulis yang mnginterpretasikan pemikiran freud berdasarkan nilai cultural mereka. Di antara mereka yang paling penting adalah Carl Rogers, Eric Berne, Abert Ellis, Aaron Beck, Abraham Maslow. Para psikoanalisis Eropa, seperti Erikson dan Fromm yang hijrah ke Amerika, juga mamiliki peran penting dalam membingkai kembali psikoanalisis dari perspektif cultural dan sosial yang lebih luas, sehimgga membuatnya semakin dapat diterima oleh pasien amerika Serikat.
Salah satu sumber utama resistensi kultur Amerika terhadap psikoanalisis adalah psikologi akademik. Walaupun William James (1890) salah seorang pakar yang menjadikan psikologi dihormati secara akademik di universitas-universitas Amerika telah memberikan perhatian yang besar terhadap ide-ide Freud, tetapi sejak 1918 para pakar psokolog akdemis Amerika telah terlalu dalam terikat dengan pendekatan behaviors. Perspektif behaviors menekankan penggunaan metode sains, seperti pengukuran dan percobaan laboratorium, dan menekankan studinya terhadap perilakuyang dapat di observasi ketimbang mengungkap proses internal, seperti mimpi, fantasi, dan impuls. Sebagai konsekuensinya, aliran behavior yang mapan berlawanan dengan psikoanalisis dan menolak untuk mengakuinya sebagai sebuah studi yang serius. Walaupun beberapa fakultas psikiatri dan penulisnya “dipaksa” bekerja dalam praktik pribadi atau rumah sakitketimbang memiliki dasar akademis. Bahkan ketika Rogers, Berne, dan Ellis mengembangkan terapi khas Amerika di 1950-an, diskusi ilmiah atas karya mereka masih sangat terbatas. Salah satu kontribusi rogers adalah menemukan metode sistematik untuk melanjutkan riset hingga proses dan hasil dari terapi. Efek penemuan ini menguatkan legitimasi terapi sebagai proyek yang diterima secara sosial dengan memberikan sebutan sebagai sains terapan kepadanya. Pada 1947, Rogers menjadi presiden American Psychological Assosiation (Whitekely, 1984). Konfirmasi terapi sebagai sains terapan diperkuat dengan masuknya terapi kedalam pendekatan arena terapi kognitif-behavior di 1960-an, beserta bahasa dan asumsi psikologi perilaku, dan citra praktisi sains (lihat bab 5).
Perkembangan psikoterapi di Amerika Serikat mempersentasikan ekspansi yang luar biasa “trade in lunacy”. Lemahnyasistem kesehatan public di Negara tersebut mengindikasikan bahwa konseling dan terapi didominasi oleh teori dan pendekatan yang dikembangkan dalam praktik pribadi. Pengaruh dan prestise model praktik pribadi telah sampai pada tahapan dimana jejaknya diikuti oleh agensi konseling yang tumbuh di sector sukarela, atau setting pendidikan. Dalam era kerja sosial, pendekatan casework sangat dipengaruhi oleh praktik psikotarapi.
4.                  Sekulerisasi Masyarakat
Pada titik ini, hubungan antara lembaga keagamaan (organized religion) dan sejarah perkembangan psikoterapi konseling menjadi tidak ada artinya. Halmos (1965) telah mendokumentasikan korelasi antara penurunan jumlah pendeta dan peningkatan jumlah konselor pada abad 20 di inggris. Beliau bahkan menyatakan bahwa keimanan religi telah digantikan oleh serangkaian keyakinan dan nilai yang disebutnya sebagai “iman para konselor” (faith of the counsellor). Nelson dan Torray (1973) telah mendeskripsikan beberapa cara terapi mengalahkan agama dalam beberapa sisi kehidupan, seperti menawarkan penjelasan terhadap berbagai peristiwa yang sulit dipahami, menawarkan jawaban terhadap pertanyaan berkenaan dengan ekstensial “auntuk apa aku ada?”, mendefinisikan nilai sosial dan menyuplai metode ritual untuk bertemu dengan orang lain. Holified (1983) telah mendokumentasikan proses ketika para psikoterapis pertama merupakan bagian dari gereja untuk kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi profesi yang berbeda.
Akar konseling dan psikoterapi dalam ritual “penyembuhan jiwa” telah didiskusikan pada awal bab. Hubungan paralelantara terapi dengan, misalnya penggunaan pengakuan digereja katholik, menjadi terbukti. Dan juga sangat jelas bahwa dalam masyarakat tradisional dan non- industrial, penyembuhan emosional dan psikologi biasanya dilakukan dalam bingkai religi. Tetapi, hingga kini hanya sedikit terapis yang menyatakan bahwa agama dan spiritualitas memiliki relevansi terhadap konseling dan psikoterapi. Hal tersebut menjadi semacam tekanan untuk menjadikan psikoterapi sebagai suatu profesi yang terpisah dan independen. Artinya para terapis harus membuat batasan antara apa yang mereka lakukan dan yang dilakukan oleh pendeta. Tentu saja disamping beberapa titik temu, terdapat beberapa perbedaan penting dalam hal tersebut. Untuk menempatkan dirinya sebagai produk dipasar abad dua puluh, dan untuk membangun “indutri” kesehatan mental (kovel, 1981), terapi memisahkan dirinya dengan agama.secara garis besar, dimensi religi dan spiritual dalam hidup sangat sedikit untuk dibicarakan dalam aliran utama teori psikoterapi dan konseling. Terapi telah tertanam dengan kuat dalam pandangan sains walaupun Halmos (1965) telah menyatakan bahwa  teori terapi juga dapat dilihat dari sudut pandang “keimanan”. Ketegangan antara sains dan agama dalam evolusi konseling tercermin dalam hidup dan karya Carl Rogers.
5.                  Peran Carl Rogers
Kisah kehidupan Carl Rogers (1902-1987) penemu pendekatan konseling dan terapi berbasis klien atau berbasis individu (bab 6) sarat dengan tema-tema tersebut diatas. Carl Rogers (rogers, 1961; Kirshenbaum, 1979) tumbuh dalam komunitas pedesaan di Midgwest Amerika, sebagai salah seorang anggota keluarga Kristen protestan yang keras yang sangat aktif menentang aktvitas bersenang-senang, seperti judi atau menonton teater. Sebagai ganti dari hasrat mendapatkan kesenangan, Rogers menunjukkan minat yang kuat pada ilmu pertanian dan telah melakukan perco baan terhadap kacang atau tanaman diusianya ke 14. Ia kemudian memutuskan menjadi pendeta, dan pada usianya yang ke-20, ia telah dikirim ke Cina untuk menghadiri Word Student Crishtian Federation. Kontak yang dilakukannya dengan budaya dan kepercayaan lain telah memengaruhi dirinya untuk menjauhi orientasi religious orang tuanya yang riqid. Ketika tiba saatnya dia memilih sekolah seminari, dia memilih sekolah yang memiliki aliran paling liberal: Union Theological Seminari. Akan tetapi, sebagai hasil eksplorasi keimanannya dalam kelompok mahasiswa pemberontak (the equivalent of a student-led”encounter group”), Rogers memutuskan untuk mengubah karirnya dan mulai mengikuti pelatihan untuk menjadi seorang psikolog di Universitas Columbia, tempat dimana dia menemukan ide gerakan pendidikan progresif yang menekankan keyakinan bahwa kebebasan belajar dan tumbuh adalah sesuatu yang inheren dalam setiap anak atau siswa.
Kehidupan awal Rogers ini menujukkan bahwa pengaruh agama berkumpul dalam karirnya sebagai terapis. Penghormatan terhadap kecermatan sains tergambar dalam ketrlibatan beliau dalam riset, dimana beliau adalah salah seorang yang pertama kali membuat catatan sesi terapi, dan mengembangkan metode untuk menginvestigasi berbagai aspek dalam proses terapi. Pengaruh pemikiran protestan dalam pendekatan teori berbasis klien tampak dalam penekanan terhadap kapasitas individu untuk mencpai pemahaman terhadap nasinya dengan menggunakan intuisi dan perasaan ketimbang dibantu oleh doktrin atau rasio. Pendekatan berbasis klien juga lebih berfokus pada perilaku dimasa kini ketimbang apa yang terjadi dimasa lalu. Sollod (1978: 96) menyatakan bahwa protestanisme dalam pendekatan berbasis klien dapat dibandingkan dengan psikoanalisis di mana “kebenaran berada dalam alasan terlatih para terapis (rabbi) dan dalam interpretasi Talkmudiknya terhadap fenomena yang kompleks”.
Seiring dengan keberhasilannya menyaber gelar psikolog klinis, sebagian besar klien Rogers adalah anak dan remaja yang terganggu jiwanya plus keluarga mereka, pada departemen studi anak dalam masyarakat anti kekerasan terhadap anak, di Rochester, New York. Walaupun ia juga menerima pelatihan psikodinamik dari Jessie Taf, salah seorang murid Otto Rank (Sollod, 1978) dan juga juga terpengaruh ole hide Alfred Adler (watts, 1998), dia tak pernah mengidentifikasikan dirinya sebagai murid dari pendekatan manapun. Selama tinggal di Rochhester (1928-1940) ia sangat terlibat dengan pendekatan yang dikembangkannya sendiri, dipandu oleh pandangannya apa yang tampaknya dapat menolong kliennya. Dalam karya klinis dan pengalamannya di Columbia, Rogers telah memunculkan nilai kultur Amerika, dan teorinya mengandung banyak element konteks kultur terapis. Meadow (1964) misalnya, menyatakan bahwa client-centered therapy (terapi berfokus klien) telah mebgadopsi “norma dasar amerika” seperti ketidakpercayaan terhadap figure pakar dan otoritas, lebih menekankan metode ketimbang teori, lebih menekankan tuntutan individual ketimbang berbagai tujuan sosial, kurang memerhatikan masa lalu, dan nilai independensi dan otonomi. Barret-Lennard (1998) bahkan telah menarik perhatian dengan pernyataannya akan kemiripan antara pendekatan Rogers dengan filosofi pergerakan politik “New Deal” pada tahun 1930-an di Amerika Serikat.
6.                  Terapi Sebagai Respons Terhadap Diri Sendiri yang Hampa (empity self)
Salah seorang penulis yang berpengaruh dalam dunia psikoterapi adalah Philip Cushman (1990, 1992, 1995). Pendekatan yang dilakukannya adalah menguji faktor-faktor cultural pada abad Sembilan belas dan dua puluh khususnya Amerika Serikat yang bermuara pada kemunculan dan penyebaran terapi. Tesisnya menyatakan bahwa pada pabad ke-19, Amerika Serikat adalah sebuah bangsa baru yang merupakan subjek dari perubahan dan transformasi sosial yang massif, dan psikoterapi awal seperti mesmerisme atau pergerakan revivalis mencoba untuk menemukan pengakuan dan stabilitas di tengah periode ketidakstabilan sosial. Di sisi lain, system kapitalis yang jauh lebih dominan di Amerika Serikat ketimbang didaratan eropa menuntut individu untuk membentuk diri mereka sesuai dengan kesempatan tertentu dalam system ekonomi. Orang-orang harus menjual diri mereka, bukan hanya barang dan jasa. Buku-buku dan pamflet pengembangan diri menjadi begitu popular, tetapi psikoterapi menawarkan jalan yang lebih efektif untuk mendapatkan personalitas yangtepat.
Tingkat mobilitas sosial Amerika membuat struktur sosial seperti keluarga dan komunitas menjadi terkikis, dan rasa memiliki yang diasosiasikan dengan struktur ini menjadi hilang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Cushman (1990: 600) kehampaan diri yang dialami oleh banyak orang amerika adalah
“lingkungan kita telah membentuk self yang mengalami kehilangan komunitas, tradisi, dan nilai bersama yang signifikan. Self tersebut merasakan kehilangan sosial tersebut.. sebagai defiesiensi kepercayaan dan harga diri, mempersonifiksikan ketidakhadiran tersebut sebagai kehausan emosional yang kronis dan tak terisahkan. Karena itu, self yang ada setelah perang dunia II memiliki keinginan yang sangat kuat untuk mendapatkan kompensasi yang telah hilang. Ini adalah kehampaan. (Cushman,1990; 600)”.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Cushman, dua respons cultural utama terhadap diri yang hampa adalah psikoterapi dan konsumerisme. Dan untuk memenuhi “kehausan emosional yang tak terpisahkan”, para warga dengan kemampuan ekonomi lebih memiliki pilihan untuk membuat janji dengan para terapis, atau mungkin membeli mobil baru.
7.                  Ekspansi Konseling di Akhir Abad Dua Puluh
Hingga saat ini, diskusi yang ada berfokus pada perkembangan psikoterapi sebagai sebuah profesi pada abad ke- 19 dan awal abad ke-20. Konseling sebagai, sebuah profesi independen, mencapai kematangannya pada 1950-an, dank arena itu sejarah psikoterapi menjadi penting untuk menjembatani konseling dengan bentuk pengobatan dan perawatan yang lebih dulu ada. Walaupun konseling dapat dikatakan sebagai bagian dari psikoterapi sebagai sebuah cara baru memasarkan psikoterapi kepada kelompok konsumen baru setidaknya terdapat dua faktor yang membedakan konseling dari psikoterapi:keterlibatannya dalam system pendidikan dan perannya dalam sector sukarelawan.
Konseling dalam berbagai bentuknya mulai ditawarkan dalam system sekolah atau universitas pada 1920-an dan 1930-an, sebagai bimbingan karir dan pelayanan kepada para remaja yang mengalami kesulitan dalam memenuhi tuntutan sekolah atau kampus. Tes dan penilaian psikologis juga termasuk dalam aktivitas ini, bahkan dalam aktivitas tersebut selalu ada dalam elemen diskusi atau interpretasi terhadap permasalahan siswa atau hasil tes (Whiteley, 1984).
Konseling juga memiliki akar yang sangat kuat dalam sector sukarelawan. National Marriage Guidance Counselling, sebuah agensi konseling terbesar di Inggris, misalnya didirikan pada tahun 1940 orang sekelompok orang yang prihatin dengan ancaman terhadap perkawinan yang disebabkan oleh perang (Lewis, et sl, 1992). Mirip dengan kasus diatas, banyak grup sukarelawan yang menyediakan pelayanan konseling dalam area seperti perkosaan, duka, isu gay dan lesbian, serta pelecehan anak.
Eksistensi tradisi pendidikan dan sector relawan bersama psikoterapeutik dan difusi tradisi keagamaan bermakna bahwa disana selalu ada dimensi konseling yang selalu mengamati permasalahan sosial yang muncul. Lebih jauh, konseling kehidupan diluar institusi medis, tempat dimana psikoterapi sangat diidentikkan dengan perawatan kesehatan penunjang melalui psikiatri, dan dengan profesi yang berhubungan dengan pengobatan, seperti psikologi klinis dan psikiatrik kerja sosial. Dan akhirnya, konseling telah mengembangkan sector non professional, yang menyebabkannya turun ketingkat komunitas local sebagai cara untuk mempertahankan kesukarelaan dan dana. Oleh karena itu, walaupun konselor dan psikoterapis sama-sama memiliki keterampilan yang mirip satu dengan yang lain, akan tetapi keduanya di posisikan secara cultural dalam daerah yang berbeda. Sayangnya, sejarah cultural konseling yang komperehensif masih terus di tulis.
Mengapa konseling dapat tumbuh demikian pesat dalam dua puluh lima tahun terakhir ini? Di Inggris dan Amerika, jumlah konselor dan kemampuan umum konseling menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak 1970-an. Ada beberapa faktor yang bertanggung jawab atas pertumbuhan ini:
Ø    Dalam dunia postmodern, para individual sadar akan pilihan yang di buka untuk mereka berkenaan dengan identitas; sang diri memiliki “proyek”; dan konseling adalah sebuah cara untuk memilih identitas tersebut (Giddens, 1991).
Ø    Profesi pelayanan dan public, seperti perawat, dokter, pengajar dan pekerja sosial yang sebelumnya telah melaksanakan peran mirip konselor, menjadi terpisah secara keuangan dan manajerial pada 1970 dan 1980-an. Mereka yang menjadi anggota profesi ini tak lagi memiliki waktu untuk mendengarkan klien mereka. Akan tetapi, banyak diantara mereka yang harus mencari konselor yang terlatih, dan menciptakan peran konseling dalam organisasi mereka sebagai cara untuk menjaga kualitas kontak dengan klien mereka.
Ø    Terdapat jiwa bisnis dalam diri banyak konselor yang secara aktif menjual jasa mereka kepada grup konsumen baru. Sebagai contoh adalah setiap direktur personalia sebuah perusahaan besar selalu memiliki lemari dokumen yang penuh dengan brosur agen konseling dan konselor yang berhasrat menyediakan jasa konseling bagi para karyawan.
Ø    Secara regular, konseling mendapatkan publisitas di media. Dan sebagian besar publisitas tersebut bersifat positif.
Ø    Kita masih hidup dalam masyarakat yang berantakan dan terpinggirkan, dan itu berarti ada banyakorang yang rusak system penunjang sosial dan emosionalnya. Contoh di setiap kota besar akan banyak dijumpai gelandangan. Dan hal tersebut meningkatkan jumlah tunawisma.
Walaupun demikian, masih terdapat banyak faktor yang dapat dikaitkan dengan perkembangan konseling. Yang jelas tampaknya adalah konseling lebih cenderung tumbuh sebagai respons terhadap tuntutan dan tekanan sosial ketimbang riset atau bukti lain yang menyatakan efektivitas konseling. Tetapi, apakah hal tersebut menjadikan konseling dapat dipandang terbentuk secara sosial dangan cara ini ?apa makna sosial dari konseling?

8.                  Makna Sosial Konseling

Tak dapat dihindari bahwa catatan sejarah yang disebutkan tidak lengkap dan sepotong-sepotong. Riset dan perhatian para pakar untuk memahami pergerakan konseling dan psikoterapi dalam masyarakat abad dua puluh masih sangat kurang. Misalnya saja, banyak literature sejarah dengan focus pergerakan psikoterapi dan konseling yang berfokus secara eksklusif terhadap apa yang terjadi di Amerika. Padahal, tidak diragukan lagi ada banyak faktor dan tema yang berbeda yang harus diungkap melalui studi sejarah terapi di Negara-negara Eropa. Terlepas dari semua itu dari diskusi terbatas ini berkenaan dengan faktor sejarah ini saja bisa dilihat bahwa bentuk teori dan praktik kontemporer sangat dipengaruhi oleh kekuatan cultural (Woolfe, 1983; pilgrim, 1990; salmon, 1991; Cushman, 1995). Secara khusus, semua yang disebutkan di atas merupakan bukti bahwa figure kunci dalam sejarah konseling seperti Freud dan Rogers bukanlah penemu teori baru, tetapi tak lebih daripada orang-orang yang mampu mengartikulasikan dan memengaruhi cara berpikir dan bekerja yang kemudian mulai mengkristal dalam budaya sekeliling mereka. Catatan sejarah juga memunculkan sekaligus menyoroti isu dan fundamental yang berdampak pada semua orientasi teoritis dan bentuk dari praktik konseling. Isu-isu mendasar ini berbicara seputar, pertama, pemahaman kita terhadap makna sosial konseling dan kedua, citra dari orang yang diperhatikan oleh teori konseling.
Dari diskusi yang berkenaan dengan akar psikiatri terutama pada tahun-tahun awal kemunculannya. Jelas sekali bahwa penekanan dalam perawatan psikiatrik pada waktu itu adalah control terhadap individu yang dipandang mengacaukan jalannya masyarakat. Walaupun terjadi banyak perubahan dalam psikiatris, namun hingga saat ini psikiatris memiliki kekuatan untuk perumahsakitan. Sedangkan sisis lain, konselor aliran humanistic memiliki tujuan “self actualization” (aktualisasi diri) dan berasumsi bahwa klien mereka memiliki tanggung jawab terhadap hidup dan tindakan mereka. Ada kecenderungan yang sangat kuat dalam diri konselor atau organisasi konseling untuk secara eksplisit menempatkan diri mereka pada kebebasan dan liberalisasi individu diakhir kontinum ini. Walaupun demikian, dalam praktiknya masih terdapat tekanan berkenaan dengan arah keyakinan dan control sosial dalam setiap situasi konseling. Yang lebih konkret lagi adalah nilai dan kepercayaan konselor berkenaan dengan apa yang bisa atau yang tidak bisa diterima secara sosial dalam diri seorang klien.
Yang lebih samar adalah pengaruh penyandang dana layanan konseling, terutama dalam setting konseling di sekolah, organisasi bisnis, atau lembaga swadaya masyarakat, tempat klien tidak akan dipungut bayaran untuk layanan yang mereka perlukan. Akhirnya dalam kasus yang sangat ekstrem, ketika klien mengancam akan menyakiti diri sendiridan orang lain, terdapat tekanan sosial dan hukum yang memaksa konselor untuk mengambil alih situasi dan bertindak.
Beberapa penulis menganggap pendekatan mereka terhadap konseling dan psikoterapi adalah sebagai sarana untuk menyajikan kritik terhadap eksistensi norma sosial atau sebagai cara untuk memunculkan perubahan sosial. Kovel (1981) seorang psikoanalisis radikal, misalnya, telah menyatakan bahwa teori Freudian klasik mempersentasekan alat yang luar biasa untuk perubahan politik, dan merasa sedih dengan cara para teoritikus generasi ke-2 post Freudian, khususnya di Amerika. Dia menyatakan:
“apa yang baik dalam Freud, yaitu kemampuan kritisnya untuk melihat dibawah system yang telah mapan, jika tidak dapat dikatakan melihat kebelakang, harus di buang; sedangkan apa yang sesuai dengan hubungan kapitalis tingkat tinggi atau advanced capitalis relatins, yaitu pelepasan sedikit hasrat yang dibarengi dengan kontrolteknis dan penyimpangan harus diperkuat”
Argument yang menyatakan bahwa sisi radikal teori Freud telah hilang juga dinyatakan oleh Holland (1977). Sedangkan idea konseling atau terapi sebagai sarana perubahan sosial dimunculkan oleh Rogers (1978). Dalam praktik kontemporer, aliansi antara konseling dan aksi sosial terwujud secara efektif oleh konselor feminis dan gay serta para praktisi dari grup monorotas (bab 7). Tetapi, uasaha meradikalisasi konseling ini juga menghadapi konfrontasi yang berujung pada pencarian perubahan sosial melalui media dengan mengindividualisasikan dan mempsikologiskan permasalahan sosial.
Ada aspek kritis lain karakteristik sosial konseling yang berhubungan dengan pembagian kekuatan antara konselor dank lien. Secara historis, hubungan konselor klien telah mengidentikkan diri dengan hubungan dokter pasien atau pendeta jamaah. Secara tradisional dokter dan pendeta dilihat sebagai figure pakar dan otoratif, dan semua orang yang berkonsultasi dengan mereka berharap diberitahu apa yang harus mereka lakukan. Sebaliknya, dalam dunia konseling, banyak praktisi yang mendukung konsep “menguatkan” pasien dan hingga tingkat tertentu setuju dengan apa yang dikatakan oleh Carl Rogers bahwa “lkienlah yang mengetahui apa yang benar”. Di samping itu, situasi dalam sebagian wawancara konseling juga mereproduksi aspek kekuatan hubungan dokter pasien. Pertemuan diadkan di daerah konselor yang secara otomatis memiliki kekuatan untuk melanjutkan atau mengakhiri sesi. Konselor mengetahui segala sesuatu berkenaan dengan klien, tapi (sebaliknya) hanya sedikit yang diketahui klien dari seorang konselor. Beberapa orang konselor begitu yakin akan kesia-siaan ketidak seimbangan kekuatan klien-konselor sehingga mereka merekomendasikan jaringan konseling self-help (bab 17), dimana para pesertanya secara bergiliran memberikan konsling kepada yang lain. Relevan pula untuk dicatat bahwa mayoritas kontak konseling dilakukan melalui telepon agensi konseling, sebuah situasi yang memberikan control lebih kepada klien untuk membuka siapa dirinya dan berapa lama satu sesi konseling akan berlangsung.
Akhir-akhir ini banyak penulis yang menaruh perhatian pada metode yang mengandung kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dalam hubungan konseling, eksploitasi seksual klien. Masson (1988, 1992), salah satu penulis tersebut, telah berhasil menyusundokumen subtansial berkenaan dengan pelecehan klien. Dia berpendapat bahwa pelecehan  jenis ini bukan hanya mengandung kekhilafan sporadis dalam etika sadar, tetapi juga merupakan konsekuensi kontak konseling yang bersifat intrinsic dan tidak dapat dihindarkan. Masson (1988: 296) menulis, “ profesinya itu sendiri sudah korup impuls utama dari psikoterapi adalah mendapatkan keuntungan dari kesengsaraan orang lain”. Dia juga menyatakan bahwa penghapusan psikoterapi adalah sesuatu yang diinginkan. Walaupun hanya sedikit yang setuju dengan pendangan tersebut, namun dihadapan sejumlah bukti yang dikemukakannya, tidak dapat disangkal bahwa pendapatnya perludipertimbangkan dengan serius. Fakta banyaknya pelecehan yang diungkapkan oleh Masson (1992)ternyata berkaitan dengan situasi pelecehan wanita oleh pria yang kemudian dibandingkan dengan fenomena sosial yang lebih umum, yaitu kekerasan terhadap wanita yang diekspresikan melalui penganiayaan fisik, perkosaan, dan pornografi.
Karakteristik sosial konseling menyebar kedalam kerja konselor melalui tiga cara. Pertama, tindakan ingin menemui konselor dan proses perubahan yang muncul dari konseling akan selalu memiliki efek sosial dalam dunia si klien. Kedua, kekuatan dan status seorang konselor bersumber dari fakta bahwa ia menjalankan peran yang memiliki otoritas sebagai “penolong atau penyembuh”. Penyembuhan atau pertolongan yang secara spesiifik diadopsi oleh konselor tergantung pada konteks cultural yang ada. Contohnya, terapis yang ada di rumah sakit akan memakai bahasa sains untuk mendikripsikan pekerjaan mereka, sedangkan mereka yang bekerja di klinik holistic atau pengobatan alternative akan menggunakan kalimat pertumbuhan dan spiritualitas. Ketiga, dimainkannya berbagai metode interaksi sosial yang mereka gunakan dalam keseharian dalam hubungan antara klien-konselor.
Ketiga dimensi basis sosial atau cultural dati konseling di atas saling berhubungan dan bereaksi dalam praktik. Contoh: bagaimana ide-ide inibisa di satukan untuk mengkonstruksikan pemahaman cara konseling beroperasi dalam konteks sosial disajikan oleh model “status akreditasi” (accreditations status) Bergner dan Staggs (1987). Mereka mereomendasikan agar para terapis dilihat sebagai anggota komunitas elite. Menjadi seorang terapis  berarti harus menerima pangakuan bahwa ia adalah seorang yang rasional, signifikan, jujur, dan kredibel. Karenanya, tiap karakter atau atribut yang ditugaskan oleh terapis untuk klien cenderung diterima dan dipercaya. Bergner dan Staggs (1987) menekankan bahwa dalam hubungan terapeutik yang positif, seorang harus memperlakukan klien sebagai seorang yang masik akal pemikirannya, yang berhak mendapatkan perhatian yang memiliki kekuatan untuk memilih dan yang memiliki kemampuan. Pengatribusian atau pentransferan (assigment) karakter tersebut kepada klien oleh orang yang memiliki status tinggi (seperti konselor atau terapis) memiliki efek konfirmasi atau posisi atau status baru para klien yang akan memunculkan rasa berhak yang lebih besar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat” (Bergner dan Staggs, 1987 : 315). Frank (1974: 272) mempresentasekan sudut pandang yang sama dengan menulis, “ karena terapis mempersentasekan masyarakat yang lebih besar, semua terapis membentuk klien memerangi keterasingannya dan membangun kembali rasa ketertarikan dengan grupnya, yang kemudian berujung pada bantuan untuk mengembalikan makna dalam hidup.” Dari perspektif ini, terapi dapat dilihat sebagai proses sosial yang menawarkan kepada orang-orang akreditasi terhadap status mereka sebagai anggota masyarakat yang waras dan terhormat. Proses ini dapar dilihat berlawanan dengan “pelabelan” mereka yang sakit mental sebagai orang luar yang berbahaya dan irasional (Scheff, 1974).
9.                  Citra Individu Yang Sangat Terkait Dalam Pendekatan Konseling
Pada level praktik, dapat dikatakan bahwa pendekatan konseling, seperti psokoanalisis atau terapi behavior, hanya terdiri dari serangkaian strategi untuk memberikan pertolongan. Tetapi, dibalik serangkaian prosedur praktik tersebut setiap pendekatan merupakan representasecara melihat orang lain, sebuah gambaran bagaimana seharusnya seseorang, sebuah visi moral (Crishtoper, 1996). Kembali pada masa-masa asylum, orang gila dipandang sebagai seorang hewan: tidak rasional, tidak bida berkomunikasi, dan tidak dapat dikendalikan. Beberapa dari anggapan ini masih terdapat dalam citra individual Freudian, hanya saja kebinatangan/id dalam psikoanalisis hanya satu bagian dari personalitas yang biasanya bersembunyi. Sedangkan citra behaviouris terhadap seseorang disebut dengan mekanistik: klien dilihat sebagai sebuah mesinyang rusak namun masih bisa diperbaiki. Citra klien konseling dalam pendekatan kognitif juga bersifat mekanistik, hanya saja mereka menggunakan metafora mesin modern: computer,. Dalam pandangan mereka klien dilihat sebagai program konputer yang diprogram dengan tidak tepat, dan hal tersebut dapat di perbaiki dengan menggantikan komando yang irasional dengan yang rasional. Sedangkan citra individual humanistic lebih bersifat botanical. Rogers, misalnya, seringkali menggunakan metafora yang berkaitan dengan pertumbuhan sebuah tumbuhan dan kondisi yang mendukung atau menghalani pertumbuhan tersebut.
Setiap citra diri ini memiliki sejarah. Intinya, konseling muncul dari perjalanan panjang menuju sebuah individualism yang komplet (Baumeister, 1987; Logan, 1987; Cushman, 1990, 1995). Sebagaian besar karakteristik individualistic konseling jika tidak dapat dikatakan seluruhnya membatasi relevansinya terhadap klienyang menyatakan dirinya menganut tradisi collectivism.
Pertanyaan tentang dunia apa yang di persentasekan oleh berbgai pendekatan konseling bermakna lebih dalam ketimbang sekedar pengidentifikasikan akar metafora atau citara diri yang menjadi inti berbagai system teori. Terdapat pula pertanyaan apakah model konseling merefleksikan realitas dunia sebagaimana kita alami. Misalnya, teori psikoanalitik merupakan produk masyarakat dengan dominasi pria. Banyak praktisi maupun penulis wanita yang menilai bahwa mereka hanya sedikit dalam teori tersebut yang mereka kenal sebagai realitas wanita. Pendekatan humanistic mempersentasekan visi dunia yang positif dan optimistic, yang oleh sebagian kritisi dipandang sebagai penolakan terhadap realitas tragedy, kehilangan dan kematian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hamper semua teori konseling mengandung perspektif hidup kelas menengah bangsa kulit putih Judaco-Cristian.
Yang penting bagi konseling bahwa citra individual atau pandangan yang dipersentasikan oleh pendekatan atau teori tertentu didasari oleh kenyataan bahwa kita tidak hidup dalam dunia sosial yang didominasi oleh serangkaian ide tunggal dan menyeluruh. Salah satu bagian esensial dalam proses menjadi seorang konselor adalah memilih versi realitas yang masuk akal, dan dapat di tinggali. Terlepas dari versi mana yang dipilih perlu dipahami bahwa versi yang masuk akal hanya satu dari sekian banyak kemungkinan yang ada. Klien misalnya, bisa saja memandang dunia ini dengan sudut pandang yang berbeda. Dan mungkin karena itu perbedaan filosofis tersebut menjadi sesuatu yang krusial. Van Deurzen-Smith (1988: 1) telah menyatakan:
“setiap pendekatan yang ada dalam konseling didasari oleh serangkaian ide dan keyakinan akan hidup, dunia dan orang-orang. Klien hanya dapat memperoleh manfaat dari pendekatan yang mereka rasa sesuai/cocok dengan asumsi dasar mereka.”
Perbedaan akar metafora, citra atau asumsi dasar tentang realitas yang mendasari berbagai pendekatan konseling dapat menyulitkan atau bahkan membuatnya mustahil untuk mengharmoniskan atau menyatukan beberapa pendekatan tertentu sebagaimana yang diilustrasikan dalam debat antara Rogers dengan Skinner berkaitan dengan kealamiahan pilihan (Kirshenbaum dan Henderson, 1990). Secara historis, perkembangan teori konseling paling tidak sebagian telah didorong oleh ketegangan antara berbagai ideology atau citra tentang individu. Sebagai contoh, perbedaan antara konsepsi biologis dan eksistensi sosial seseorang muncul dalam banyak perdebatan teoritis dalam bidang tersebut. Bakan (1966) menyatakan bahwa teori psikologis dan terapi yang bersumber kepadanya dapat dipilah menjadi dua grup. Grup pertama merangkul semua teori yang pada dasarnya menaruh perhatian kepada tugas memahami misteri kehidupan. Sedangkan grup ke dua mengambil teori yang memiliki tujuan mencapai kepakaran dalam hidup (mistery of life). Bakan (1966) memandang mistery-mistery kompleks mendasari banyak perdebatan dan isu dalam psikologi dan terapi.
Akhirnya, terdapat pertanyaan berkenaan dengan cara citra individu digunakan dalam hubungan terapeutik, apakah citra yang dipegang oleh konselor akan dipaksakan kepada klien, sebagai sebuah strukturn rigid yang mengatur kehidupan klien, atau  sebagaimana yang dipilih oleh Friedman (1982), penyingkapan ilmiah manusia yang mengambil tempat diantara terapis dan kliennya atau diantara anggota sebuah grup.


BAB III
KESIMPULAN
            Untuk memahami cara konseling dipahami dan di praktikkan, disyaratkan adanya penghargaan terhadap sejarah konseling dan perannya dalam masyarakat kontemporer. Orang-orang atau klien yang datang pertama kali biasanya hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang apa yang mereka dapat. Hanya sedikit orang yang memahami perbedaan antara psikiatris, psikologis, konselor, dan psikoterapis, terlepas dari pendekatan alternative yang ditawarkan. Namun di balik kekurangan informasi, semua itu menggemakan serangkaian citra kultur yang mungkin mengandung ketakutan terhadap kegilaan, rasa malu untuk meminta pertolongan, ritual pengakuan dosa, atau citra dokter sebagai seorang penyembuh (healer). Dalam masyarakat multicultural, keragaman citra tersebut dapat menjadi luas. Para konselor juga telah tenggelam dalam citra cultural ini sebagaimana yang ia disosialisasikan ke dalam bahasa dan ideology pendekatan konseling tertentu atau kepada norma dan nilai implicit agensi konselor. Untuk memahami konseling, seseorang di tuntut untuk bergerak keluar dari cakrawala ruang interview, kelingkungan sosial yang lebih luas dimana ruang interview memiliki tempat special didalamnya.


RINGKASAN BAB
Ø  Konseling muncul pada paruh ke dua abad dua puluh. Untuk memahami apa defenisi dan yang ddilakukan oleh konseling, diperlukan pemahaman terhadap akar sejarah perkembangan bentuk pertolongan ini.
Ø  Pada periode pra-industrial, orang.orang yang memilki masalah emosional ditolong oleh para anggota atau anggota komunitas lainnya.
Ø  Seiring dengan revolusi industrial dan peningkatan sekulerisasi dalam masyarakat, pada abad Sembilan belas muncul institusi dan profesi baru yang melayani masalah “sakit mental”
Ø  Pada pertengahan abad Sembilan belas, mermerisme (hipnotis) merupakan bentuk terapi psikologi yang digunakan secara luas.
Ø  Di penghujung abad Sembilan belas, Freud mengintegrasikan berbagai pemikiran psikologi, medis, dan filosofi dalam sebuah system psikoterapi lengkap pertama yang kemudian dikenal dengan sebutan psikoanalisis
Ø  Psikoanalisis terus menjadi aktivitas pinggiran sampai kemudian diadopsi dengan antusias oleh berbagai sector dalam masyarakat AS pada 1920.an dan 1930-an
Ø  Teori client centered Carl Rogers mempersentasekan pendekatan lebih popular dan bisa diterima yang berdampak pada peningkatan penyebaran konseling.
Ø  Perkembangan dan popularitas konseling yang terus menanjak di AS disebabkan oleh mobilitas sosial dan konsumerisme tingkat tinggi yang menghasilkan dfisiensi makna, atau empity self yang dibantu oleh terapi tersebut.
Ø  Elemen penting dalam evolusi konseling adalah panduan karier dalam setting pendidikan dan relawan
Ø  Adalah penting untuk menyadari bahwa dalam masyarakat, konseling memainkan peran mempromosikan citra individu sebagai makhluk yang self deterministic dan independen dan juga memainkan peran mendukung strategi menghadapiberbagai permasalahan sosial dilevel individu.
Ø  Konseling adalah sebuah aktivitas yang mustahil dipisahkan dari kultur masyarakat industrial barat dank arena itu tidak harus relevan dengan permasalahan yang dialami oleh anggota grup kultur lainnya.







Konsep kunci                        
Asylum= obat jiwa
Ampity self= pendekatan clien centered
Filsafat hidup= peningkatan diri
Hypnosis= perawatan moral
Citra individu= perspektif behavior
Individualism= post modernisasi
Industrialism= psikiatri
Kapitalisme= psikoanalisis
Kultur= system workhouse
Makna sosial= trade in lunacy
mermerisme
c